Bahkan dalam tahun 2012 kemarin, terdapat berbagai macam pemberitaan yang berasal dari warga biasa yang menjadi heboh dan menjadi perbincangan di kalangan masyarakat luas, bahkan sampai ditayangkan di televisi. Beberapa diantaranya, pemberitaan negatif mie instan di Hong Kong, email palsu anggota DPR di Australia, serta fenomena mengenai gaya bicara “sesuatu” dari seorang artis perempuan, Syahrini.
Dalam buku Citizen Journalism: Pandangan Pemahaman, dan Pengalaman, yang ditulis oleh Pepih Nugraha, wartawan Kompas sekaligus pendiri Kompasiana ini, sedikitnya memaparkan berbagai macam persoalan tentang jurnalis warga berdasarkan pengalamannya di media sosial sejak tahun 2005.
Ada tiga syarat menjadi wartawan profesional yang juga bisa diterapkan bagi para pewarta warga yang ingin mempraktikan citizen journalism. yaitu : Pertama, mengetahui hal-hal menarik bagi pembaca untuk diolah dan dijadikan berita penting. Kedua, selalu ingin tahu dan memiliki rasa skeptis (keraguan) sehingga selalu ingin membuktikannya. Ketiga, mampu mengobservasi, mengamati fenomena, dan kecendrungan yang terjadi (hlm. 78).
Dalam buku ini, penulis juga menyampaikan bahwa kalangan pers media maupun pers warga jangan pernah menjalankan dosa sebagai pewarta berita. Sebagaimana menurut Poul Johnson ada tujuh besar itu diperentukkan bagi pers media arus utama, dan tidak ada salahnya kalau jurnalis warga juga memperlajari dosa-dosa pers agar tidak mencemari hasil laporannya. Karena ketujuh dosa besar itu akan menjadi tabu bagi insan media sosial yang biasa melaporkan berita dalam dunia internet, seperti di facebook, di blog, di twitter dan lain sebagainya.
Ketujuh dosa besar tersebut yaitu : (1) Penyimpangan informasi, (2) Dramatisasi fakta, (3) Serangan privasi, (4) Pembunuhan karakter (5) Eksploitasi teks, (6) Meracuni pikiran anak, dan (7) Penyalahgunaan kekuasaan (hlm. 115).
Begitu juga, para citizen jurnalism harus mengetahui ilmu-ilmu yang terdapat pada ilmu pers. Pewarta warga juga harus mengetahui nilai-nilai berita sebagaimana dikemukakan Lanson dan Luwi agar suatu berita benar-benar bisa disebut berita bernilai (hlm. 83).
Dalam buku ini, sebutan citezen jurnalisme tidak dimaksudkan menjadikan warga bisa menjadi wartawan profesional yang dibayar oleh perusahaan media, namun semata-semata hadir untuk menyebarkan semangat berbagi (share) informasi sesuai minat dan bidang masing-masing orang. Dengan berbagi informasi, terjadi pertukaran pengetahuan dan pengalaman warga biasa yang tidak terbatas wilayah, ruang dan bahkan waktu.
Warga disini, tentu saja bisa siapa saja. Bisa ibu rumah tangga, guru, pelajar dan mahasiswa, PNS, militer maupun usahawan. Jadi, bagi yang suka tukar-menukar informasi, akan lebih baik mau membeli dan membaca buku ini, karena buku ini bermaksud menjadikan semua warga bisa menjadi jurnalis dan pastinya menjadikan wartawan warga yang profesional.
Untuk itu, buku ini sangat bagus untuk digunakan sebagai rujukan bagi siapapun yang berminat pada dunia jurnalistik, atau lebih luas lagi dunia kepenulisan. Buku ini, juga mengantarkan kita bagaimana bisa menjadi jurnalis yang hebat, meskipun tidak menjadi jurnalis konvensional.
Karena kita tahu, melihat sedemikian ketatnya persyaratan menjadi seorang wartawan atau jurnalis. Maka daripada itu, semua warga bisa melakukan kegiatan yang bersangkut-paut dengan dunia kewartawanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H