Mohon tunggu...
Samsul Ngarifin
Samsul Ngarifin Mohon Tunggu... Guru - Seorang pengajar dan blogger

Punya hobi menulis ketika senggang, tulisan biasanya mengenai topik pendidikan dan olahraga. Penikmat musik, sepak bola, bulutangkis, MotoGP, dan Formula 1.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pelajaran Berharga: "Saya Tidak Perlu Khawatir dari Kelompok Mana Saya Berasal"

22 April 2017   17:36 Diperbarui: 23 April 2017   02:00 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setiap ada pemilihan, mau itu tingkat RT, kampung, desa, kabupaten, provinsi, atupun pemilihan presiden, selalu muncul kubu-kubu yang saling berhadapan. Kondisi ini merupakan bentuk demokrasi dalam menentukan seorang pemimpin. Tentu, demokrasi itu baik karena kita memiliki kebebasan untuk memilih seorang pemimpin tanpa intimidasi dari pihak lain.

Hal yang menarik ketika pilkada DKI Jakarta putaran kedua, adalah kemenangan Anies-Sandi berdasarkan quick count atau hitung cepat, ternyata banyak pihak yang kurang bisa menerima kenyataan. Banyak pihak baik itu warga Jakarta maupun warga luar Jakarta menilai bahwa pilkada DKI Jakarta tidak demokratis. Entah penilaian tidak demokratis itu karena adanya paksaan untuk memilih salah satu calon, atau karena gagalnya salah satu calon dari kelompok minoritas menjadi pemimpin DKI Jakarta. Satu hal yang harus diingat, bahwa setiap warga negara indonesia mempunyai hak untuk dipilih ataupun memilih. Seperti halnya dalam kehidupan percintaan, kita itu bebas untuk mencintai dan dicintai oleh orang lain.

Baiklah, mungkin banyak pihak yang bertanya-tanya, bagaimana seorang calon yang digadang-gadang superior sehingga tidak ada lawan yang bisa mengimbangi, harus menerima pil pahit berupa kegagalan. Saya sendiri juga kaget, karena secara popularitas, Pak Basuki lebih populer dibandingkan dengan Pak Anies. Populer disini bukan karena banyak orang mengenal namanya, tapi karena kinerjanya. Tidak bisa dipungkiri bahwa kinerja Pak Ahok dalam membereskan ruwetnya birokrasi di DKI Jakarta diapresiasi banyak pihak. Pak Basuki berani memecat PNS yang kinerjanya mengecewakan atau tidak sebanding dengan gaji yang diterima. Selain itu pembangunan infrastruktur juga mendapatkan porsi banyak dalam kebijakan Pak Ahok. Meskipun kemacetan dan banjir masih menjadi terjadi, tapi sudah ada kemajuan.

Kembali lagi kepada pilkada DKI, beberapa hari yang lalu, ada yang menyebut bahwa warga DKI itu belum dewasa. Anggapan bahwa warga DKI Jakarta belum dewasa itu berdasarkan pada hal apa?. Apakah karena kekalahan Pak Basuki yang kinerjanya sudah terbukti jika dibanding Pak Anies yang belum pernah menduduki jabatan gubernur, atau alasan memilih karena iman lebih penting dari pada nalar.

Alasan pertama, kalau kita bicara kinerja Pak Basuki sebagai gubernur, memang baik, meskipun ada hal-hal lain yang sempat membuat penilaiannya menurun, seperti reklamasi. Sebagai warga non Jakarta, saya juga tidak bisa merasakan secara langsung kemajuan Jakarta di bawah pimpinan Pak Basuki. Namun bagi saya, penertiban kawasan kumuh dan padat penduduk merupakan hal yang saya acungi jempol. Menata sebuah kota memang diperlukan pemimpin seperti ini. Mungkin banyak juga orang yang menilai bahwa penertiban itu kurang humanis. Namun pada kenyataannya penggusuran itu dilakukan pada tanah yang memang milik pemda DKI, bukan tanah hak milik perorangan.

Lagian pemda DKI juga membangun rumah susun untuk merelokasi warga yang terkena penertiban. Penertiban juga digunakan untuk hal yang bermanfaat dan diperuntukan untuk warga DKI, bukankah itu hal yang bagus. Warga yang terkena penertiban beralasan mereka sudah puluhan tahun tinggal disitu. Ya walaupun sudah puluhan tahun, tapi kalau itu tanah bukan miliknya, kalau suatu saat akan diambil oleh yang empunya tanah, bisa apa? Secara hukum sudah salah, karena menduduki tanah milik orang.

Nah, untuk alasan warga Jakarta memilih karena mengutamakan iman dari pada nalar ya tidak bisa disalahkan. Bagi orang beragama, iman pasti lebih diutamakan dari pada nalar. Ambil contoh masalah apakah Tuhan itu ada? Hal tersebut tidak bisa dinalar, karena tidak bisa dilihat dan dirasakan. Namun bagi orang beragama, hal tersebut bukan sebuah masalah, karena mereka percaya ada kekuatan diatas segala-galanya yang menciptakan dunia ini. Memang dalam agama Islam, Al Quran merupakan pedoman dalam kehidupan beragama. Hal ini yang sering menjadi dilema bagi orang beragama Islam. Tapi sistem sekarang ini membiasakan orang untuk beranggapan bahwa agama harus dipisah dari kehidupan bernegara. Saya sendiri juga beragama Islam, tapi bagi saya tidak terlalu mempermasalahlan hal tersebut, selama negara masih menjamin hak hak saya dalam berbagai bidang, baik itu pendidikan, keamanan, agama, atau apapun terpenuhi.

Analisa saya, kebijakan Pak Basuki satu sisi dipandang baik, namun di sisi lain ada pihak pihak yang sakit hati. Nah, orang-orang yang sakit hati inilah yang mempunyai andil besar dalam kekalahan Pak Basuki. Orang sakit hati (baik itu beragama Islam atau non Islam) pastilah tidak memperdulikan kinerja Pak Basuki menjadi Gubernur. Bagi orang yang memang suka dengan Pak Basuki, mau itu Pak Basuki diguncang dengan isu SARA, mereka bakal tetap setia.
Bagi saya, orang-orang yang sakit hati dengan Pak Basuki karena pidatonya di kepulauan seribu yang menyinggung surat Al Maidah ayat 51, juga berperan penting dalam kekalahan ini. Bisa saja banyak orang yang respect kepada Pak Basuki dan tidak memandang dari agama dan suku apa Pak Basuki berasal, namun karena pidato tersebut, merubah pandangan mereka.

Menurut saya, Pak Basuki seharusnya tidak perlu khawatir dia dari kelompok minoritas (apa karena suku cina atau kristen), yang terpenting Pak Basuki fokus untuk memimpin DKI Jakarta. Sebelum masyarakat mengetahui pidato Pak Basuki di Kepulauan Seribu, orang yang tidak suka dengan Pak Basuki mungkin tidak sebanyak sekarang. Phobia Pak Basuki sendiri yang membuat dirinya kehilangan banyak pendukung, yang mungkin sebelumnya merupakan simpatisan Pak Basuki.

Semoga hal ini bisa menjadi pengalaman berharga untuk Pak Basuki, supaya tidak mempermasalahkan hal seperti itu, apa lagi menyampaikannya kepada masyarakat umum, yang bisa saja memaknai lain. Contoh saja, wali kota solo sekarang berasal dari kelompok minoritas, namun warga solo tidak mempersoalkan masalah tersebut. Dan juga walikota solo tidak pernah curhat soal isu SARA yang bisa sewaktu-waktu mengganggu kepemimpinannya. Tidak perlu khawatir, saya percaya bahwa orang yang melihat kinerja lebih banyak dari pada orang yang melihat dari mana seorang pemimpin itu berasal.

Maaf kalau tulisan saya belepotan, saya hanya mengutarakan apa yg menjadi pemikiran saya, mohon dihargai, jangan disalahkan, tapi cukup dibenarkan saja tanpa menyebut kesalahannya. Hehe :D

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun