Mohon tunggu...
Madahrosi
Madahrosi Mohon Tunggu... Freelancer - a stoic enthusiast

verba volant, scripta manent

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Memento Mori, Permenungan tentang Mortalitas

3 Februari 2020   15:25 Diperbarui: 25 Februari 2021   15:00 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sepekan yang lalu , seorang legenda basket dunia, Kobe Bryant, meninggal dunia bersama putrinya dalam sebuah kecelakaan helikopter. Sebelumnya, media- media khusunya media hiburan ramai memberitakan kematian mantan isteri dari salah satu komedian kondang yaitu Sule. Keduanya ramai diberitakan karena yang satu adalah publik figur dunia olahraga dan yang lainnya adalah mantan orang terdekat pelawak kondang nasional. Keduanya meninggal dunia dengan tiba-tiba, dalam arti mereka tidak diberitakan menderita sakit  sebelumnya. 

Tentu kematian mereka meninggalkan banyak kenangan bagi sanak saudara, para sahabat, dan orang-orang yang mengenal mereka. Banyak yang berduka. Termasuk orang orang yang tidak mengenal mereka secara pribadi. Beberapa hari kemudian,seorang kolega dan sahabat saya  di lingkungan pekerjaan harus absen dari pekerjaannya hari itu karena dia akan melayat sepupunya yang meninggal dunia. 

Dan tadi pagi ketika hendak berangkat kerja, saya mendengar berita bahwa salah satu tokoh NU yang sangat soleh dan dihormati  yaitu KH Solehuddin Wahid meninggal dunia. 

Ada kesedihan dan ratapan. Kita kehilangan orang-orang yang kita hargai,hormati, dan cintai. Saat ini, ketika Anda sedang membaca tulisan ini selama satu menit, diperkirakan 105 orang meninggal dunia di berbagai sudut buana. Kematian sungguh sebuah keniscayaan. Ia akan datang ke pangkuan setiap orang dalam pelbagai cara. Ia adalah realitas yang sangat nyata, tak terhindarkan.

Berhadapan dengan realitas kematian, saya teringat ajaran dan praktek para filsuf stoa yang kemudian menjadi terkenal dalam bahasa Latin dengan sebutan Memento Mori. 

Dalam bahasa Indonesia kurang lebih dapat diterjemahkan 'mengingat kematian atau merenungkan mortalitas'. Epictetos, seorang budak yang menjadi filsuf, berkata, "Jika kematian datang,maka datanglah. Jika belum, saya akan menikmati makan siang karena sekarang saatnya makan siang". Kedengarannya sebuah kelakar, tetapi humornya sarat makna filosofis. 

Bagi Epictetos, Marcus Aurelius, Seneca,dan filsuf stoa lainnya, kematian adalah hal yang di luar kendali. Yang menjadi kendali manusia adalah penilaian, pemikiran, emosi,dan faktor internal lainnya. Bukan sebuah kejadian yang membuat seseorang terganggu, tetapi persepsi seseorang terhadap kejadian tersebut. 

Mereka membuat distingsi antara hal- hal yang menjadi kendali seseorang  dan hal-hal yang tidak menjadi kendali seseorang seperti orang lain, cuaca, kesehatan, tubuh, pemerintah, dan banyak lagi faktor eksternal. Sejauh apapun seseorang mengontrol tubuhnya, dia tidak pernah sepenuhnya mengontrolnya termasuk dengan penuaan dan kematian. 

Bagi Stoisisme, yang menjadi tanggung jawab utama seseorang adalah faktor internal. Dalam konteks kematian, para filsuf Stoa melihatnya sebagai sebuah kejadian alami. Oleh karenanya, seseorang hendaknya memberikan penilaian secara objektif. Seseorang meninggal, berarti dia tidak hidup secara fisik lagi dengan kita. Sedih, duka, kehilangan, kecewa dan lain lain adalah penilaian yang ditambahkan pada peristiwa kematian itu sendiri. 

Apakah seseorang tidak boleh sedih dan berduka? Para filsuf stoa khususnya Epictetos mengatakan bahwa reaksi terhadap kejadian merupakan representasi atau impresi. Representasi itu akan diolah secara rasional oleh seseorang sehingga seseorang tidak berlarut-larut dalam kesedihannya. 

Seneca, filsuf stoik, mantan pejabat dan penasehat kaisar, dalam pengasingannya menulis surat kepada ibunya, Helvia,  yang berbunyi, "... lebih baik menaklukkan duka daripada mencoba mengakalinya....Kita hanya bisa tenang jika menaklukkan duka dengan akal".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun