Mohon tunggu...
Madahrosi
Madahrosi Mohon Tunggu... Freelancer - a stoic enthusiast

verba volant, scripta manent

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengembangkan "Constructive Learning"

3 Mei 2017   11:04 Diperbarui: 3 Mei 2017   12:14 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengembangkan Constructive Learning

Kesadaran akan pentingnya  pendidikan telah lahir ribuan tahun yang lalu, maka tidak heran orang masih mengamini catatan Aristoteles bahwa tujuan pendidikan, tidak lain, adalah untuk kebahagiaan manusia. Dunia bertransformasi di dalam berbagai bidang berkat tokoh-tokoh yang inovatif dan kreatif. Gagasan mereka tidak sekedar gagasan tetapi dinyatakan dalam inovasi dan kreasi.Mereka adalah tokoh-tokoh yang belajar dari kegagalan, kemudian bangkit karena keyakinan akan kemampuan mereka untuk mencipta. Di Indonesia, kelahiran generasi bangsa yang berdaya cipta merupakan sebuah keniscayaan pada era sekarang khususnya ketika memasuki Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Sayangnya generasi yang berdaya cipta tinggi bukanlah hasil produk dari sebuah sistem yang dibentuk tanpa sebuah filosofi yang jelas dan fokus. Sistem yang paling bertanggung jawab dalam melahirkan kreativitas suatu bangsa adalah sistem pendidikan khususnya pendidikan pada usia dini. Ki Hajar Dewantar meletakkan salah satu tujuan dari pendidikan yaitu menciptakan manusia yang berdaya cipta. Gagasan ini setidaknya lahir dari sebuah kesadaran akan pentingnya pendidikan dalam membangun suatu bangsa agar mampu berelasi dengan baik dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Kesadaran Ki Hajar Dewantara muncul sebagai upaya untuk mampu berelasi dengan penjajah Belanda pada waktu itu. Jika Ki Hajar Dewantara menjadi Bapak Pendidikan karena perjuangan dan gagasannya, seharusnya,  jika bangsa ini menghargai arti dari kebebasan, kita menggugat para otoritas yang membentuk sistem pendidikan kita dari masa ke masa. Bagaimana sistem pendidikan kita belumlah menciptakan generasi yang kreatif dan inovatif padahal kita sudah meraih kebebasan sudah lebih setengah abad lamanya?

Sebuah studi pada tahun menempatkan Indonesia pada urutan ke 40 dari 40 negara yang menjadi objek penelitian tentang sistem pendidikan terbaik di dunia, di bawah Meksiko dan Brasil. Yang menarik adalah empat negara Asia yaitu Korea Selatan, Jepang, Singapura, dan Hongkong menempati peringkat teratas melampaui Finlandia yang dijadikan ukuran kesuksesan sistem pendidikan oleh para otoritas Pendidikan di Indonesia. Keempat negara tersebut hanya membutuhkan waktu setahun untuk mengalahkan Finlandia. Tentu saja mereka telah membangun sistem pendidikan mereka jauh sebelumnya. Pelajaran penting bagi kita adalah bahwa pendidikan adalah sebuah dinamika dan tidak perlu jauh-jauh ke Finlandia untuk belajar sistem terbaik pendidikan. Kita bisa menciptakan sebuah sistem yang terbaik yang mengedepankan daya cipta yang telah digagas oleh Bapak Pendidikan kita beberapa dasawarsa yang lalu.

Masalah-masalah klasik pendidikan kita dari tahun ke tahun masih cenderung sama yaitu kurikulum bermasalah, kompetensi guru rendah, dan infrastruktur kurang memadai. Maka kita layak mempertanyakan hasil kerja pemegang kekuasaan pada Departemen Pendidikan terhadap solusi dari masalah-masalah klasik yang disebutkan di atas, jika 20,59% dari APBN dialokasikan untuk membangun pendidikan Indonesia. Memang angka literasi dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang bagus, tetapi tanpa diikuti oleh munculnya generasi muda yang penuh daya cipta maka kita tidak akan menjadi pemain utama dalam Masyarakat Ekonomi Asean.

PENDIDIKAN KONSTRUKTIF

Plato, filsuf klasiK Yunani, dalam alegori guanya melihat bahwa pendidikan adalah sebuah pencerahan setelah orang berani melepaskan belenggu dan keluar dari gua.  Belajar dari Plato, kita harus berani menemukan terobosan baru untuk menumbuhkan daya cipta para generasi muda ke depannya. Jean Peaget dan John Dewey menawarkan sebuah filosofi pendidikan yang bisa menjadi sebuah pilihan ke depannya dalam menata sistem pendidikan kita. Mereka merumuskan teori konstruktivisme dalam pembelajaran. Menurutnya, para pelajar harus bersentuhan denga hal-hal yang ril kemudian mereka menyusun hipotesis dan pada akhirnya menyimpulkan sendiri berdasarkan uji terhadap teori. Sekolah yang menerapkan konsep konstruktivisme akan mempromosikan apa yang disebutProject Based Learning . Dengan Project Based Learning inilah siswa melewati proses seperti mengidentifikasi masalah, menyusun hipotesis, menguji teori, menarik kesimpulan, membuat produk, dan merefleksikan kekurangan dan kelebihan baik proses belajar maupun konten pelajarannya. Tentunya pembelajaran konstruktif bukanlah sebuah hal baru bagi banyak pendidik di Indonesia. Tetapi penulis di sini bermaksud untuk membawa teori konstruktivisme tidak sebatas siswa yang belajar tetapi yang paling penting adalah semua pilar dari sistem pendidikan kita harus konstruktif.  Konstruktivisme harus menjadi mindset bagi para pembuat kebijakan, para penyusun kurikulum, dan para guru. Lagipula, bisakah pembelajaran konstruktif berdiri sendiri hanya pada siswa (student center) tanpa kurikulum yang konstruktif dan guru yang tercerahkan? Rasanya susah memisahkan siswa, pengajar, dan kurikulum. Ketiganya bisa dibedakan, tetapi tidak bisa dipisahkan. Ketiganya adalah satu kesatuan yang saling bertautan dengan kuat satu sama lain.

Dalam membangun kurikulum yang konstruktif, para pembuat kebijakan dan penyusun kurikulum mengandaikan pehamaman akan teori pendidikan moderen termasuk  teori konstruktivisme. Mereka harus mampu menyusun kurikulum yang memberdayakan siswa sehingga mampu bekerjasama dengan baik dan menciptakan produk-produk pembelajaran yang kreatif. Kurikulum yang konstruktif. Peran penting eksekutor dari kurikulum yaitu guru adalah faktor yang sangat krusial untuk menjamin pendidikan yang konstruktif. Seorang guru yang konstruktif selalu mengasumsikan semua siswanya sebagai yang terbaik. Tidak ada yang hanya baik apalagi jelek. Sekali lagi, semua pelajar adalah yang terbaik di mata guru. Setelah memandang siswa sebagai yang terabaik, guru akan melihat perkembangan siswa dengan beragam pendekatan belajar dan beragama bentuk evaluasi, tidak hanya ujian  tertulis seperti yang kita kenal dengan Ujian Nasional.

Jika kurikulum dan guru sudah konstruktif maka dengan sendirinya siswa akan menjadi pelajar yang konstruktif. Mereka akan menghayati pembelajaran sebagai sebuah perjalanan, bukan sebuah perlombaan. Mereka akan menjadi siswa-siswa yang terbaik, karena tidak dibandingkan dengan siswa lain dan juga mereka tidak diperlombakan satu sama lain. Yang terjadi adalah mereka belajar bekerjasama dengan menghormati segala perbedaan dengan siswa lainnya.

Degan menggunakan teori konstruktivisme dalam menata sistem pendidikan di Indonesia khusunya pada tiga pilar pendidikan  yaitu kurikulum, pengajar, dan siswa,  tujuan pendidikan yang digagas oleh K.H.Dewantara yaitu menciptakan manusia yang memilik daya cipta niscaya akan tercapai. Jika kita ingin menjadi pelaku-pelaku utama dalam Masyarakat Ekonomi Asean, Departemen Pendidikan perlu membenahi sistem pendidikan dengan berfokus membangun kualitas kurikulum, kompetensi guru, dan siwa dengan payung pendidikan seperti yang diuraikan di atas. Inilah salah satu bentuk revolusi mental didengungkan oleh Presiden Jokowi beberapa tahun lalu. Pada akhirnya tujuan dari pendidikan untuk kebahagiaan atau kesejahteraan yang dikemukakan oleh Aristotels lebih dari dua ribu tahun yang lalu bisa terwujud.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun