Hardiknas adalah akronim dari Hari Pendidikan Nasional, yang diperingati setiap tanggal 2 Mei di Indonesia. Sebetulnya Hardiknas adalah peringatan ulang tahun Ki Hajar Dewantara, seorang founding father pendidikan Indonesia yang terkenal dengan semboyan Tut Wuri Handayani, yang artinya 'yang dibelakang memberikan dorongan'. Sementara Cogito Ergo Sum, artinya 'saya berpikir maka saya Ada' adalah ungkapan filosofis yang diungkapkan oleh seorang tokoh rasionalisme yang bernama Rene Descartes (bacanya Rene Dekart).Â
Keduanya merupakan istilah yang terkenal namun yang menarik adalah Tut Wuri Handayani bukanlah bahasa Indonesia dan Cogito Ergo Sum bukanlah bahasa Perancis. Tut Wuri Handayani terkenal tidak hanya untuk orang Jawa tetapi orang dari berbagai daerah di Indonesia pun tidak asing dengan istilah tersebut. Demikian pun dengan Cogito Ergo Sum, selalu dikutip oleh orang-orang yang belajar filsafat dari berbagai latar belakang. Keduanya menembus batas-batas geografis dan budaya. Begitulah sejatinya sesuatu yang tercipta dari kedalaman berpikir dan merenung dari kedua tokoh tersebut di atas.
Dengan kata lain kedua ungkapan ini terkenal bukan karena bahasanya tetapi makna di dalamnya. Namun tidak berarti bahwa Rene Descartes dan Ki Hadjar Dewantara tidak terkenal. Keduanya memang tokoh yang terkenal. Berbicara tentang rasionalisme dalam pemikiran filsafat tanpa berbicara Rene Descartes dan berbicara tentang perkembangan pendidikan Indonesia tanpa berbicara Ki Hajar Dewantara sama artinya berbicara tentang lukisan Mona Lisa tanpa Leonardo Da Vinci atau lukisan Prodigol Son tanpa Rembrandth.
They have gone but their legacy lives on.  Mungkin mereka tersenyum di atas 'sana' menyaksikan bahwa sumbangsih pemikiran mereka telah memberi inspirasi bagi banyak insan di muka bumi menuju pada kemajuan. Bagi Decartes, rasio tidak hanya penting tetapi harus menjadi hakikat dalam memandang dunia. Kekuatan pikiran yang diagungkannya menjadi aliran pemikiran yang menjadi sentral dalam diskursus filosofis dari abad ke 17 sampai saat ini dan mungkin sampai abad-abad selanjutnya.Â
Rasio menjadi pusat kesadaran manusia dalam relasi dengan alam semesta. Kesadaran manusia akan perannya di alam semesta membebaskan manusia dari banyak hal-hal irasional yang lahir pada abad-abad sebelumnya. Menurutnya, letak persoalan antara manusia adalah karena manusia tidak tercerahkan dalam memandang realitas atau konsep.Â
Oleh karena itu ia melihat kekuatan pikiran yang rasional yang harus menjadi pijakan. Tidak berbeda jauh dengan Rene Descartes, Ki Hadjar Dewantara pun menekankan pada peran sentral rasio dalam menyongsong kemajuan. Hal ini terlihat dalam pemikirannya tentang daya cipta yang harus lahir dari kejernihan berpikir dan berimajinasi . Namun ia tidak hanya berhenti pada kekuatan berpikir seperti yang diagungkan oleh para tokoh rasionalisme misalnya Francis Bacon yang dengan percaya diri mengatakan bahwa 'knowledge is power' . Ki Hajar Dewantara juga menggarisbawahi dua hal penting lainnya yaitu rasa dan karsa. Kedua hal ini tidak kalah pentingnya dengan daya kreativitas yang lahir dari kemampuan berpikir. Keduanya berkaitan dengan kemampuan emosional dan sosial. Beliau meyakini bahwa dengan menggabungkan antara daya berpikir (kemampuan intelektual) dan kemampuan emosional, seseorang akan menjadi pribadi yang utuh. Oleh karenanya, ketiganya mesti hadir dalam formasi pendidikan seseorang sejak dini.
Bagi Ki Hajar Dewantara, kualitas pendidikan dapat dicapai dengan kreativitas yang tinggi (Cipta), perasaan yang empatik (Rasa) dan kemauan yang kuat dan mendalama (Karsa). Ia menggariskan konsep filosofis tentang pembangungan pendidikan Indonesia. Ia melihat bahwa pendidikan hendaknya menciptakan seseorang yang bergunan bagi masyarakat di sekitarnya sehingga ia mengeluarkan ungkapan Tut Wuri Handayani yang artinya seseorang harus mampu memberikan dorongan moral atau semangat bagi orang lain. Baginya, pendidikan harus memberdayakan orang lain demi kepentingan yang lebih besar yaitu masyarakat.
Pendidikan selalu menyangkut banyak segi. Tetapi diantara banyak segi yang berkaitan dengan pendidikan, dua hal dalam pembangunan pendidikan yaitu intelektualitas dan karakter selalu dilihat sebagai faktor penentu. Baik Rene Descartes maupun Ki Hadjar Dewantara melihat manusia sebagai subjek dari perubahan ke depan. Yang satu menekankan segi intelektualitas yang bermutu dan yang lainnya menekankan karakter yang beradap. Jika dielaborasi lebih dalam, Rene Descartes juga berbicara tentang pentingnya karakter yang baik dan Ki Hadjar Dewantara juga melihat pentingnya manusia yang cerdas.Â
Tidak perlu membandingkan keduanya untuk melihat kekurangan dan kelebihannya tetapi  lebih berguna jika melihat pemikiran keduanya sejenak bagi pelaku pendidik atau terdidik, formal atau non formal,  bahwasanya pendidikan yang berorientasi pada penalaran logis tetaplah  menjadi penting untuk melahirkan generasi yang kritis,kreatif, dan  kompetitif tetapi pada waktu yang sama pendidikan yang berorientasi pada pendidikan karakter juga sangat penting untuk melahirkan generasi yang menjunjung tinggi kejujuran, kerja keras, dan empati.
Mereka telah melahirkan pemikiran yang inspiratif agar kita dapat mewujudkan impian-impian kita dan pada akhirnya dapat berguna dan menjadi inspirasi bagi sesama.
Terima Kasih kepada Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara dan Perenung Rasional, Rene Descartes.