[caption id="attachment_184193" align="aligncenter" width="545" caption="Bersiap Untuk Menampilkan Tarian Yospan"][/caption]
Beberapa hari lalu, tepatnya hari Kamis (24/5) saya menghadiri acara graduation, penamatan siswa SMA berasrama. Selain mengabadikan acara itu dengan kamera yang saya bawa, menikmati acara kesenian yang mereka tampilkan sebagai selingan di antara sambutan-sambutan, rupanya mengasyikkan juga.
Yang paling mengesan bagi saya adalah tarian Yospan oleh siswi-siswi generasi muda Papua. Mengapa saya katakan paling mengesan? Karena setiap kali ada penampilan kesenian, selain Yospan ada juga modern dance, semangat para hadirin membuncah bergairah senang hingga yang tadinya duduk termangu mendengarkan sambutan, nggak usah disuruh, langsung berdiri untuk menonton tarian itu dan akhirnya terdengar teriakan memberikan applaus berlebihan hingga menggetarkan ruangan sporthall seusai menari.
Acara graduation itu digelar oleh pihak sekolah justru dua hari jelang pengumuman resmi kelulusan UN. Ini tradisi sekolah. Meski demikian, tak sedikit yang was-was terhadap beberapa siswa yang kemudian diketahui ternyata tidak lulus UN, meski sudah “ditamatkan” oleh pihak sekolah. Ada rasa dilema memang.
[caption id="attachment_184194" align="aligncenter" width="591" caption="Energik, Dinamis, Bersemangat serta Lincah Menari Tari Yospan"]
Bukan tanpa alasan kalau ada yang merasa kuatir ada siswa yang tidak lulus. “Siswa-siswi Papua, dalam keseharian proses belajar mengajar, hampir dipastikan lamban dibandingkan dengan teman-teman yang bukan berasal dari Papua. Dari sisi pembinaan karakter, anak Papua lebih senang olah raga daripada disuruh belajar mandiri. Tak jarang, meski dilarang, kebiasaan minum, merokok, membuat berang para pamong asrama.”cerita salah satu pembina.
Itulah stigmata negatif yang tak bisa hilang dari pundak mereka. Anggapan miris ini tak urung menambah kekawatiran terhadap mereka apakah nantinya lulus atau tidak. Bukan dibiarkan dan tidak ada pembinaan buat mereka, tetapi pengalaman telah “bercerita” tentang stigmata negatif itu.
Prof. Yohanes Surya, memiliki anggapan yang berbeda tentang generasi muda Papua. “Tidak semua anak Papua itu lamban berpikir, buktinya anak-anak SD dan SMP yang saya bina di Karawaci dengan menggunakan matematika progresif, bisa dan bahkan menjadi juara matematika” ungkap beliau optimis. Apa yang dikatakan Prof. Yohanes Surya, memang benar. Saya sudah pernah melihat langsung base-camp mereka di Karawaci. Bahkan, ketia saya “menguji” perkalian dan pembagian terhadap beberapa anak Papua yang masih SD, ternyata mereka bisa menjawab secara benar.
[caption id="attachment_184195" align="aligncenter" width="433" caption="Persahabatan dan Pergaulan, Simbol Kebangkitan Generasi Muda Papua"]
“Magda, mau isi acara ya?” tanya saya terhadap salah satu siswi Papua yang bersiap mau tampil ke panggung. “Ya, pak” sahut mereka dengan semangat. “Boleh saya foto dulu?” Mereka serentak mengangguk tanda senang sekali. Lalu saya katakan, “Bagus latar belakang Gunung Lokon sebagai bukti bahwa kalian menari bukan di tanah Papua tapi di Kawanua, Minahasa”.
Tak beberapa lama mereka dipanggil MC untuk segera tampil membawakan Tarian Yospan dengan diiringi kaset musik lagu Papua. Sambil menonton mereka menari, saya mendekati salah satu siswa Papua lainnya untuk bertanya tentang apa arti dan makna tarian Yospan itu. Untuk menambah keyakinan saya, maka saya pun browsing ke internet.
Dari keterangan yang saya kumpulkan, sebenarnya tarian Yospan dalam konteks pertunjukan merupakan tarian persaudaraan atas dasar pergaualan antar sahabat. Memang, kata Yospan berasal dari Yosim dan Pancar. Perpaduan antara tarian rakyat Papua Yosim (wilayah Serui, Waropen) dan Pancar secara harmonis.
[caption id="attachment_184197" align="aligncenter" width="529" caption="Generasi Muda Papua Indonesia"]
Konon tarian mereka terinspirasi dari konflik antara Kerajaan Belanda dengan Pemerintah Indonesia sekitar tahun 1960-an. Konflik itu melibatkan pesawat-pesawat jet MIG Rusia yang dipakai oleh pilot-pilot Indonesia untuk bermanuver dan meliuk-liuk di atas langit Biak, di atas Bandara Frans Kaiseipo. Gerakan akrobatik pesawat jet itulah yang kemudian menjadi gerakan pada tarian Yospan.
Tak heran gerakan yang penuh dinamis, energik dan lincah menjadi gerakan dasar tarian itu bak terbangnya pesawat tempur kala melawan penjajahan Belanda di bumi Papua. Tarian itu bukan tarian perang tetapi kemudian menjadi tarian tradisional yang diiringi dengan tifa, gitar, ukele, bas untuk menunjukan persabahatan dan pergaulan di antara mereka.
[caption id="attachment_184196" align="aligncenter" width="600" caption="Siapkah Siswa Papua, Menadi Generasi Muda Emas Indonesia?"]
“Angkatan ini berhasil menjaga tradisi kelulusan 100% sekolah. Selamat dan terima kasih atas perjuangan dan jerih payah kalian selama ini terutama dalam UN 2012”, tulis Kepala Sekolah dalam akun fanpage sekolah.
Hilang sudah stigmata negatif dan kekawatiran menggebu terhadap siswa Papua selama ini. Mereka akhirnya lulus juga. Justru dengan sinyalemen ini membuktikan bahwa ketika mereka mendapat fasilitas dan saranaprasarana pendidikan yang memadai, mereka sebenarnya termasuk dalam statemen yang digemborkan dalam Pawai Pendidikan Nasional (2 Mei) yang bannernya berbunyi “Bangkitnya Generasi Emas Indonesia”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H