Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Suara Rakyat adalah Suara Tuhan

2 Oktober 2011   02:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:25 1921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1317523612243462910

[caption id="attachment_134560" align="aligncenter" width="622" caption="Pawai 17-an: Menari di depan Panggung Utama Para Pejabat"][/caption]

Vox Populi, Vox Dei. “Suara Rakyat adalah Suara Tuhan”. Itulah maksud dari pepatah kuno dalam bahasa Latin. Lebih lanjut, pepatah itu seakan memberi peringatan bijak kepada pemangku pemerintah yang dalam prosesnya serta merta dipilih rakyat, agar senantiasa mendengarkan suara rakyat sebagai kehendak ilahi. Jika demikian, maka “bonum commune” atau kesejahteraan bagi dan untuk rakyat menjadi prioritas utama dalam pengambilan keputusan.

Berkaitan dengan itu, ada sebuah pembicaraan yang menarik ketika masyarakat pinggiran kota membuat sebuah agenda yang berjudul “Peringatan HUT RI ke 60”. Ornamen Merah Putih memang sudah dipasang di sudut-sudut kota. Semua seakan serentak berkibar ke mana-mana, menyapa setiap pejalan kaki untuk merayakan HUT RI dengan meriah. Belum tema-tema energik dan provokatif dalam rangka kemerdekaan, juga dipasang di baner-baner dengan disertai pas foto para pemimpinnya. Semuanya untuk membangkitkan semangat kemerdekaan yang bebas dari penjajahan.

“Lagi-lagi korupsi!” tutur salah satu teman saya. “Korupsi dan mafia anggaran bak setali tiga uang. Sama saja!” celoteh teman saya setelah menyeruput kopi hitamnya. “ Bagaimana tidak ada korupsi, kalau setiap mengeluarkan kebijakan yang bebuntut pada dananya, harus disertai dengan pengajuan proposal dan kemudian disetujui oleh wakil rakyat.” seorang ibu ambil suara di tengah diskusi yang makin hangat.

“Kami ini kalau minta dana harus membuat proposal dulu. Setelah ada payung hukumnya lalu membuat rencana anggaran yang di dalamnya dicantumkan juga berapa persen biaya untuk proses persetujuan dari beberapa pihak, sehingga dana untuk kegiatan itu tidak seratus persen sesuai dengan anggaran.” itulah suara yang disuarakan oleh warga pinggiran kota.

Rupanya, apa yang dibicarakan itu, sudah menjadi pembicaraan umum baik di kalangan birokrat maupun di kalangan masyarakat. “Bagaimana bisa sejahtera kalau prosesnya begitu.”seorang bapak yang pernah bekerja di bank menimpali pendapat tadi.

Menjaga konsistensi, “Suara Rakyat adalah Suara Tuhan” seperti itu ternyata tidak mudah. Setiap wakil rakyat akan menghadapisebuah kompromi antara “aji mumpung”, “barganing power’ dan ambisi pribadi. Jika demikian terjadi, maka “hati nurani’ rakyat siap-siap terluka seiring dengan kebijaksanaan yang tidak berpihak pada rakyat.

Bahkan ada yang mencoba berpikir secara kontradiktif. “Yang dimaksud rakyat itu siapa? Kalau ada demo yang atas namakan rakyat atau masyarakat, sangat kabur karena tidak semua rakyat sama aspirasinya. Ada-ada saja. “ komentar salah satu orang yang suka melihat demo di kantor-kator vital penyelenggara negara ini.

Produksi politis yang dikeluarkan dari gedung perwakilan rakyat kembali tercoreng karena tidak memihak kepada upaya kesejahteraan rakyat. Bahkan cenderung berbau korupsi ketimbang kejujuran dan populis. Memang, tidak semua seperti itu. Masih ada suara malaikat yang menuntun para wakil rakyat untuk berbela negara dan dan berbela rasa kepada kemiskinan rakyatnya.

Karena itu, posisi “Banggar” sebagai urat nadi bagi pertumbuhan kesejahteraan rakyat di ranah pengambilan dan persetujuan setiap anggaran, dihadapkan pada pilihan apakah “vox populi, vox Dei” atau “homo homini lupus” (manusia serigala bagi (temannya) manusia lainnya”. Maka tidak heran kalau ada suara yang mengatakan bahwa agar mendapat kucuran dana dari pusat, pandai-pandailah berlobi dengan panitia anggaran. Terserahlah, bagaimana caranya. Jika kalah atau tidak bisa melobi, jangan berharap kota atau desa anda akan maju dan sejahtera.

Menurut hemat saya, kalau mau bongkar Banggar, bongkarlah dari hati nuraninya lebih dahulu. Jika sudah selesai, baru dipersilahkan kembali menjadi rakyat biasa saja. Jangan jadi wakil rakyat lagi. Perwakilan rakyat hanya sebatas pada pencoblosan di atas kertas saja saat pemilu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun