[caption id="attachment_202386" align="aligncenter" width="600" caption="Kumbang Tanduk, Monster Pohon (dokpri)"][/caption]
Deretan baliho-baliho berbagai ukuran dan warna yang terpasang di pinggir jalan itu ada yang sudah rusak dan rubuh. Tapi ada juga yang masih berdiri tegak, utuh dan menyolok. Tak hanya itu, pemakai jalan raya setiap hari disuguhi juga baliho yang tegak tapi gambar orangnya sudah bolong alias robek.
Kerusakan baliho itu tak pernah diungkap. Sentimen warga terhadap kondisi semua baliho yang ditancap di pinggir jalan jelang Pilkada, sepertinya membisu. Anggapan umum, bahwa itu rusak karena diterpa angin kencang atau ada yang sengaja merusak. Tak ada jawaban pasti soal ketindakindahan baliho-baliho itu yang setiap hari dipandangi oleh pemakai jalan.
Di sisi lain, di balik semua baliho itu, ada dinamika kehidupan sosial politik yang membabi buta. Tak heran muncullah di permukaan media sebuah kondisi meta-politis yang ilustrasinya beraklamasi pada hujat menghujat, pro kontra, dukung mendukung, serang menyerang demi “memenangkan” sang calon dalam Pilkada.
Panggung politik itu sensasional memang. Tapi esensi untuk kesejahteraan rakyat yang seharusnya pertama menjadi pertimbangan tak kunjung digubris. Semua bakal calon pemimpin, hanyalah “sarana” untuk mendekati titik nol yaitu “bonum commune”atau semakin rakyat disejahterakan oleh karena pemimpinnya memang berkehendak baik untuk mensejahterakan.
[caption id="attachment_202388" align="aligncenter" width="600" caption="Kecil, Gotong Royong, Berbagi Rejeki (dokpri)"]
“Bapak pilih semut atau kumbang?”
Saya kaget dan tehenyak oleh pertanyaan itu. Jangan-jangan pertanyaan itu ingin mengalihkan perhatian saya ya. Jadi ingat, kebiasaan “pengalihan perhatian” sebagai komoditas politik demi tercapainya pemenangan atau mengeliminir kasus-kasus krusial yang melibatkan para penguasa. Kasus SARA dialihkan ke kasus kebakaran. Kasus korupsi dialihkan ke isu sepakbola. Kasus kemiskinan dialihkan ke kasus penembakan masyarakat. Dan lain sebagainya.
“Kalau pilih semut, itu artinya bapak pilih orang yang memiliki sifat gotong royong. Bila ada rejeki, ia tidak rakus dimakan sendiri. Dijamin, rejeki atau kue itu akan dibagi bersama-sama secara merata. Tak ada, istilah rebutan. Hidup memang ujung-ujungnya cari rejeki, tetapi kalau semua mendapat rejeki siapa yang tak senang? Apalagi saling berbagi berkah”
[caption id="attachment_202392" align="aligncenter" width="600" caption="Siap Terbang Sendiri, Tinggalkan Yang Lain (dokpri)"]
“Kalau pilih Kumbang?”
“Kumbang itu wajahnya mirip monster. Kekuatan, kekuasaan, ketegasan adalah sifat utamanya. Makanya susah melihat kumbang ramai-ramai berbagi rejeki. Ia lebih suka terbang sendiri dan hinggap pada batang pohon untuk menaruh larvanya atau ulatnya. Menggerogoti dari dalam batang itu adalah sifatnya hingga pohon tumbang”
“Bapak pilih semut atau kumbang?”
Hujan baru saja turun dengan lebat. Bau tanah kering menyergap hidung saya. Tuhan memang adil dengan mecurahkan air dari langit ketika bumi pertiwi kering kerontang karena diterpa musim panas. Para petani bersyukur karena tanaman untuk bulan Desember telah dibantu disirami dengan turunnya hujan. Kesejahteraan petani sudah ada di depan mata untuk tiga empat bulan kemudian.
Sumur-sumur penduduk pun mulai terisi air. Artinya segala lebutuhan air bersih untuk manusia teratasi dengan baik tanpa mengeluh kekurangan dan airnya kayak comberan.
“Bapak pilih semut atau kumbang?”
[caption id="attachment_202397" align="aligncenter" width="600" caption="Semut (dokpri)"]
Lensa Makro hadiah dari kerabat dekat, sudah saya pasang pada bodi kamera. Trigger pun sudah saya pasang untuk berkomunikasi dengan Flash yang saya taruh di dekat objek yang akan saya foto. Settingan pada kamera saya mengikuti masukan dari teman-teman supaya DoF-nya nggak sempit maka bukaannya diperlebar. Saya setel pada f 8.0 ke atas secara bergantian. Agar tidak shake atau goyang, saya pakai tripod.
Pertama saya bidik semut. Serangga eusosial, berasal dari keluarga formisidae ini sangat lincah. Mereka bergerak dinamis ke sana ke mari bikin pusing kepala karena mata harus sigap dan jangan sampai momen itu sirna. Aktifitas semut-semut itu membuat saya kagum karena kebersamaannya dan keakraban dalam mencari rejeki begitu solid. Semut hitam berbadan kecil itu saya temukan di pagar depan rumah.
[caption id="attachment_202395" align="aligncenter" width="600" caption="Kumbanng, Wildlife Photography (dokpri)"]
Selanjutnya, kumbang tanduk. Kubang ini saya temukan sedang menempel di tembok. Lalu dengan ranting saya ambil dan saya foto. Sifat diam dan bersahabatnya memudahkan untuk difoto. Bak seorang model, kumbang hitam kecoklatan ini diam tenang saat difoto. Wajahnya yang angker dan badan keras makin mempesona. Sayang, saat saya ingin lebih bersahabat dengan mengubah sudut pengambilannya, kumbang lalu terbang begitu saja.
Ketika saya ditanya pilih semut atau kumbang, saya hanya menjawab dalam batin saja karena binatang-binatang ini bukan termasuk binatang peliharaan, apalagi dipelihara. Sebutan kerennya “wildlife” animal. Karena itu, logika pendulum yang menisyaratkan apabila memilih salah satu maka resikonya ada pada yang tidak dipilih. Karena itu, saya pilih sesuai dengan hati nurani dan moralitas saya saja tanpa meninggalkan pertimbangan “bonum commune” tadi.
Tulisan ini terinspirasi dari Weekly Photo Challenge (WPC) ke 19 tentang Animal and Pets Photography. Tulisan Kompasianer lain boleh anda simak dengan meng-KLIK DI SINI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H