Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Maukah Presiden Blusukan di Hutan?

5 Maret 2014   20:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:12 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Membuka lembaran baru tahun 2014, di berbagai wilayah kota di Indonesia mendapat kado lumayan istimewa berupa bencana alam. Gunung meletus,hujan abu vulkanik, tanah longsor dan banjir bandang menjadi headlines koran-koran daerah dan nasional di awal tahun ini.

Jokowi-Ahok dibuat pusing oleh banjir yang menerjang di sebagian wilayah DKI, khususnya pemukiman yang berdekatan dengan aliran sungai (DAS) Ciliwung. Truk-truk kontainer pembawa barang produksi (kebutuhan pokok, material bangunan, produk pabrik) terhalang oleh kemacetan akibat banjir di sejumlah titik di jalan pantura Jawa. Di daerah lain seperti di Sulawesi Utara, banjir bandang Manado dan tanah longsor di Tinoor Tomohon, nilai kerugian mencapai Rp 1,8 triliun. Di Jawa Timur terutama daerah-daerah yang dilalui Sungai Bengawan Solo mengalami nasib yang sama. Banjir pun melanda kota Jayapura. Pendek kata, banjir melumpuhkan lalu lintas dan berdampak pada tersendat-nya sektor ekonomi bisnis, kegiatan belajar mengajar, kegiatan sosial keagamaan dan pariwisata.

Siapa pun tak berharap bencana itu datang. Tetapi bencana kadang terjadi karena deforestasi, kebakaran hutan, pembalakan liar, atau perladangan liar. Betapa tidak. Sebagai contoh, banjir Manado dan longsor Tomohon itu berada di sekitar daerah aliran sungai. Luapan air sungai itulah penyebab terjadinya banjir yang menghanyutkan rumah-rumah di bantaran sungai dan longsor tanah-tanah di tebing-tebing hingga ke pemukiman warga kota. Rumah, toko persekolahan, hotel, kantor pemerintah, pasar tak luput dari terjangan air bah bercampur tanah lumpur..

Cuaca ekstrem yang disertai hujan lebat dan angin boleh jadi penyebab utama banjir. Tetapi, perilaku manusia ikut andil hingga terjadinya banjir. Bantaran sungai dibangun rumah-rumah. Pendangkalan sungai karena lumpur tidak bisa mengalir lagi karena terhambat oleh sampah-sampah yang dibuang ke sungai. Penebangan pohon-pohon hutan di sekitar sungai membuat hilangya resapan air, dan air meluncur menggerus tanah tebing hingga membuat longsor dan merobohkan banyak pohon.

Miris rasanya bahwa bencana alam itu terkait erat dengan kerusakan lingkungan alam di sekitar hulu aliran sungai dan terkait dengan perilaku manusia. Semakin sedih rasanya kalau kerusakan lingkungan itu akibat dari kurang sadarnya manusia dalam menjaga, merawat dan melestarikan lingkungan hutan di sekitar hulu sungai.

Seharusnya ada sinergitas antara alam, bangunan dan spiritual manusia untuk mencegah terjadi bencana ekologis itu. Ambisi manusia untuk menguasai alam demi kepentingan ekonomis semata membuat alam murka dan terjadilah bencana itu.

Bencana banjir bandang Manado yang saya ceritakan adalah salah satu bukti fisik bahwa banjir tak lepas dari rusaknya ekosistem sumber daya alam (sda). Masih hangat dalam ingatan saya, banjir yang melanda di Wasior, Taman Nasional Gunung Leuser, Garut tak lain disebabkan karena terjadi deforestasi yang membuatair hujan sulit meresap.

Sementara itu, saya membaca data dari Kementerian Kehutanan RI bahwa kawasan hutan tropis Indonesia luasnya 132.398 juta hektare. Dari luas itu, 110.046 juta hektare adalah hutan tetap dan 22.352 juta hektar merupakan hutan produksi yang dapat di konversi (HPK). Tetapi karena terjadi pembalakan liar, pembakaran hutan dan perladangan liar, jumlah luas itu kini hanya tersisa 98 juta hektare yang menjadi hutan efektif.

Hutan tropis atau hutan hujan di Indonesia tersebar dalam tiga zona. Yaitu, Zona Paparan Sunda (famili Dipterocarpaceae) yang mencakup Sumatera, Kalimantan dan Jawa. Zona Paparan Sahul (jenis agathis) meliputi Papua dan Zona Intermediate Wallacea yang berada di wilayah Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara yang ditumbuhi jenis pohon eboni, agathis, eucaliptus dan cendana.

Tahun 1998-2000 saya ditugaskan di Pontianak. Selama itu saya sempat mengunjungi hampir seluruh kota besar di Kalimantan hingga ke Kucing di wilayah Malaysia. Transportasi yang saya gunakan untuk kunjungan itu berganti-ganti mulai dari pesawat baling-baling (Trigana, Merpati), speed boat, mobil off-road, sepeda motor hingga jalan kaki. Dari sekian kali kunjungan itu, saya bisa melihat dari atas pesawat, sudah banyak hutan Kalimantan yang gundul karena penebangan. Namun ketika menyelusuri sungai Kapuas, Barito atau Mahakam di kanan kiri aliran sungai masih tampak hutan lebat. Tetapi kalau lebih ke dalam lagi, hutan sudah habis ditebang.

Sejak 8 tahun yang lalu saya tinggal di Tomohon. Saya sudah menyempatkan diri bersama teman-teman yang bergabung di Mahawu Adventure Park (MAP) mengadakan trekking ke Gunung Mahawu melewati kawasan hutan lindung Mahawu. Di lain waktu saya juga trekking bersama siswa-siswa Losnito Intensive Program (LIP) menembus hutan Mahawu.

Pengalaman trekking itu membuat saya semakin tertarik dengan ekosistem hutan hujan tropis yang tampak hijau membentang di sepanjang kaki gunung Mahawu dengan aneka macam jenis pepohonan yang tumbuh subur. Hanya ada satu dua pohon yang susah dipeluk karena saking besarnya. Ini menjadi tanda bahwa pohon-pohon endemik Sulawesi sudah menjadi langka. Selain trekking saya dan teman-teman (murid-murid) beberapa kali mengadakan pendakian ke puncak Gunung Mahawu dan Gunung Lokon.

Saya sengaja mengajak para siswa trekking ke hutan dan gunung Mahawu untuk meng-edukasi dan membentuk karakter siswa agar mencintai alam dan lingkungan secara total sehingga sikap menjaga, merawat, mencintai dan melestarikan ekosistem hutan terbentuk. Tantangan di lapangan biasanya berujung pada ulah perbuatan manusia yang terbiasa membuang sampah sembarangan, merusak tanaman atau pohon yang tumbuh di hutan, atau sering tangannya gatal untuk mengejar burung yang dilihatnya. Kendala itu tak menyurutkan saya untuk tak henti-hentinya mengedukasi generasi muda agar tidak mengganggu ekosistem hutan hujan tropis.

Karena itu, seandainya saja menjadi presiden, saya akan mengedukasi generasi muda tentang pentingnya melestarikan hutan dan mengajak belajar tentang terjadinya dan akibat adanya bencana alam bagi hidup dan kehidupan manusia.

Tak hanya itu, lewat Kemendikbud, saya perintahkan untuk menjadikan pelestarian hutan sebagai mata pelajaran ekstra-kurikuler wajib bagi para siswa. Dalam edukasi itu, diajarkan tentang pengelolaan sumber daya alam berbasis ekosistem pada daerah aliran sungai, pegunungan, hutan hujan tropis, pesisir, mangrove, dan terumbu karang.

Pendidikan pengurangan risiko bencana juga saya perintahkan untuk diberikan di sekolah-sekolah selain waspada terhadap setiap bencana juga membangun mental cinta terhadap lingkungan sekitar dengan mempelajari akibat-akibat dari ulah manusia seperti buang sampah sembarangan, merusak hutan baik flora dan fauna-nya.

Pendidikan melalui gerakan menanam pohon kalau bisa dimasukkan dalam silabus atau kurikulum sekolah bukan seremonial para pejabat yang kadang terkesan abs (asal bapak senang) demi berjalannya program-program nasional.

Agar gerakan mencintai hutan akhirnya menjadi habitus (kebiasaan) warga Indonesia, sebagai presiden saya akan menjadwalkan diri untuk camping di kawasan hutan di tiga zona tadi, sambil mensosialisasikan program pelestarian hutan. Untuk melihat kondisi hutan secara menyeluruh, saya akan trekking ke salah satu puncak gunung untuk memperlihatkan betapa indah dan kayanya hutan tropis Indonesia.

Untuk merealisasikan itu semua dibutuhkan seorang presiden yang sehat, jasmani, suka olah raga, bijaksana dan suka "blusukan" tak hanya mengunjungi warga tetapi "blusukan"di hutan sebagai bukti keseriusan pemerintah dalam mendukungkelangsungan hidup manusia dari perubahan iklim global. Semoga.

Tulisan terkait

1.Efektifkah Menanam Pohon Secara Seremonial?

2.Menaklukkan Kawah Gunung Mahawu

3.Menembus Hutan Mahawu Di Hari Minggu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun