Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Malam di Batas Kota, Memang Cantik Kok!

12 Mei 2012   16:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:23 1207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_180991" align="aligncenter" width="600" caption="Bunderan Hotel Indonesia Jakarta"][/caption]

“Mari berbicara lewat foto”, demikian narasi pembuka pada komunitas Kampret (Kompasianer Hobi Jepret) di Facebook. Sepintas membaca kalimat ini, terasa ambigu. “Masak sih, kita bisa berkomunikasi dengan foto?” sanggah saya tapi dalam batin saja.

Terpancing dengan statemen itu, lalu saya ingat dengan apa yang diajarkan oleh dosen Filsafat Antropologi ketika saya masih kuliah. “Semua ciptaan Tuhan, bisa diajak bicara. Hanya kualitas bicaranya tidak masif dan bergradasi secara intens. Manusia bisa berbicara dengan hewan atau semua mahkluk hidup. Hanya kualitas komunikasinya menengah. Manusia juga bisa mengajak ngobrol dengan batu atau benda mati lainnya. Hanya kualitasnya rendah sekali. Yang paling berkualitas adalah komunikasi antar manusia.”

Atas dasar itu, foto pun, termasuk benda mati, namun secara visual ia menghidupkan diri lewat ekspresi yang tergambarkan. Artinya, kemampuan berdialog dan berbicara pada manusia boleh dikata berkualitas karena konsep otonomi dan korelasinya. Semua foto berpotensi untuk bisa berbicara secara intens atau bisa saja kurang komunikatif tergantung hasil fotonya.

[caption id="attachment_180992" align="aligncenter" width="600" caption="Gemerlap Malam Jakarta"]

1336835319910118690
1336835319910118690
[/caption]

Kendati begitu, adalah sebuah kesulitan besar untuk mendapatkan foto yang “mampu berbicara’ atau sering disebut foto yang berkarakter. Sejauh pengalaman saya sebagai pemula dalam dunia fotografi, menghasilkan foto yang baik, bukan tanpa perjuangan. Tak ada foto yang baik, tanpa terlebih dahulu melewati proses “learning by doing”. Setidak-tidaknya itulah proses pembelajaran saya ketika fotografi menjadi hobi. Belum sampai ke level profesional.

Menjadikan foto itu bisa berbicara, atau lewat foto, saya bisa berkomunikasi dengan siapa saja terutama dengan teman-teman penggila fotografi, adalah sebuah tantangan tersendiri yang mengasyikan. Berkali-kali saya “lamu” (banyak ngomong), bahwa semakin orang suka dengan fotografi semakin mendapatkan sebuah terapi yang menyehatkan. Maksudnya, saya bisa berlatih sabar, bijak, konsisten dan tentu saja yang namanya pembelajaran akhirnya menambah ilmu dan pengetahuan saya tentang fotografi.

Di mana saya bisa belajar berkomunikasi lewat foto? Ada dua tempat. Yang pertama ikut bergabung dalam komunitas fotografer ( de’kodakens) di sekitar tempat tinggal saya. Sebenarnya saya minder ikut komunitas fotografer itu. Alasannya saya, “gear” atau kamera dan lensa saya sangat standard. Saya beli kamera dulu tujuannya untuk motret dalam rangka mendokumentasikan setiap kegiatan. Atau tepatnya disebut sebagai “asal jepret” yang penting fotonya jelas. Memang saya akui saat itu, teknik pemotretan saya jauh dari semua teori fotografi. Tak heran, setting auto (warna hijau) dan P, sangat saya sukai.

[caption id="attachment_180993" align="aligncenter" width="600" caption="Lawang Sewu, Tak Begitu Seram Kalau Malam"]

13368354211573847743
13368354211573847743
[/caption]

Yang kedua, saya ikut bergabung dalam Kampret. Banyak hal saya diperkaya oleh kampretos (julukan para anggota Kampret). Mulai dari teknik, kategori dalam setiap foto sampai diskusi tentang perangkat kamera dan lensa. Pokoknya, ilmu saya tentang fotografi ditambahkan oleh Kampret. Apalagi akhir-akhir ini setiap minggu diadakan WPC (Weekly Photo Chalenge). Lebih lengkapnya, silahkan yang suka fotografi bisa bergabung dengan komunitas Kamprets melaui facebook.

Kembali ke sebuah pertanyaan dan pernyataan awal. Berbicara lewat foto. Kali ini, saya mau mencoba berkomunikasi dengan foto malam. Untuk lebih mudahnya saya ambil foto-foto malam saya ketika saya jalan-jalan malam di tengah kota. Kalau ada lagu berjudul “senja di batas kota”, foto-foto malam saya saya beri judul “malam di batas kota”.

Suatu hari, teman saya mengajak saya untuk hunting malam di kota Semarang. Pada malam yang cerah kami keluar rumah dan saat itu sudah pukul sembilan malam. Kota Tua, Pelabuhan Tanjung Emas, Seputaran Tugu Muda dan Lawang Sewu adalah target bidikan kamera kami. Mengapa spot-spot itu menjadi buronan kami, karena spot itu tak lain adalah ikon kota Semarang dan sudah dikenal secara meluas.

[caption id="attachment_181000" align="aligncenter" width="600" caption="Tugu Muda Semarang"]

1336836328590449430
1336836328590449430
[/caption]

Setelah jepret sana jepret sini, saya kemudian menyimpulkan bahwa foto di malam hari tidak semudah foto di siang hari. Settingannya pada kamera harus pas. Kalau tidak pas, maka hasilnya blur atau shake. Teman saya mengusulkan agar main di slow speed dan pakai tripod. Senter  alat bantu guna menimbulkan efek terang pada foreground-nya.

Setelah hunting, kami lalu pulang dan esoknya kami berdiskusi soal foto hasil jepretan malam itu. Intinya, penguasaan teknik harus ditingkatkan lagi. Namun, ada yang lebih menarik. Foto-foto yang dihasilkan itu berbicara tentang masa lalu kota Semarang yang secara historis, mencerminkan tentang pengaruh penjajahan Belanda bagi masyarkat kota Semarang. “Belanda memang hebat dalam tata ruang kota dan pembangunan gedung-gedung yang tahan ratusan tahun. Sangat visioner” kata teman saya dengan polosnya, pada hal ia lahir di tahun 80-an.

Berbeda dengan foto malam saat saya di Jakarta. Kali ini teman saya mengajak saya ke puncak gedung Grand Indonesia yang katanya tingginya hingga 56 tingkat. Saat di puncak, angin begitu kencang hingga terasa seperti mau diterbangkan. Dengan semangat nekat, kendala kencangnya angin saya atasi dengan cara berlindung pada salah satu tembok yang menahan kencangnya angin.

Di atas puncak Grand Indonesia itu, Bunderan HI, Jalan Tamrin dan gemerlapnya kota Jakarta, menjadi target bidikan kamera saya berkali-kali hingga setengah putaran gedung GI itu. “Itulah kehidupan malam kota Jakarta. Tak kenal lelah sedikitpun kendati malam semakin melarutkan asa. Rasanya 24 jam hidup masih saja kurang kalau ada di Jakarta”, batin saya.

[caption id="attachment_181006" align="aligncenter" width="600" caption="Becak, Di Atas Jembatan Kali Berok Kota Lama Semarang"]

1336836699425364807
1336836699425364807
[/caption]

Foto malam di batas kota, memang asyik. Tapi dibutuhkan nyali untuk memotretnya. Selain melawan angin malam dan waktu, teknik memotret malam perlu dikuasai. Untuk itulah saya belajar foto pada malam di batas kota dengan kamera dan lensa terbatas serta minimnya pengetahuan fotografi karena saya masih pemula dalam fotografi. Akhirnya, mari kita berbicara lewat foto.

Untuk lebih lengkapnya tentang Weekly Photo Chalenge 4, Night Photography, silahkan klik di sini.

1336837993615937602
1336837993615937602

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun