[caption id="attachment_157468" align="aligncenter" width="622" caption="Bunderan HI, diambil dari Lantai 56 Grand Indonesia"][/caption]
Terus terang sejak sayabergabung di Kompasiana, kalau saya ditawari “mau makan apa, dan di mana” maka pikiran saya langsung mengarah pada wisata kuliner yang sekaligus bisa jalan-jalan. Tentu saja yang saya inginkan adalah tempat kuliner yang unik, ekstrem dan populer. Karena itu saya berharap setelah berwisata kuliner dan jalan-jalan, saya bisa berbagi cerita dan pengalaman kepada anda.
Percakapan soal kuliner itu terjadi di mobil dalam perjalanan menuju ke Grand Indonesia (GI), tempat di mana teman saya bekerja. Malam itu, saya diajak oleh teman saya ke GI. Bagi saya, masuk ke gedung GI merupakan yang pertama kali. Bahkan, saya baru tahu kalau dalam gedung Grand Indonesia ini terdapat Perkantoran, Apartemen, Hotel Indonesia, dan Mal.
[caption id="attachment_157477" align="aligncenter" width="622" caption="Diambil dari Lantai Parkir P7 Grand Indonesia"]
Suasana jalan menuju ke Grand Indonesia pada Sabtu malam itu, diwarnai dengan kemacetan. Kami sedikit berjuang dan sabar untuk masuk ke tempat parkir di P7 Grand Indonesia. Setelah memarkirkan kendaraan, teman saya bertanya. “Jadi mau lihat kota Jakarta di waktu malam? Ada tempat yang bagus untuk menonton kota Jakarta di waktu malam. Sangat eksotik dan indah untuk difoto.” ujar teman saya membuat hati saya tergoda. Bak orang asing, saya hanya mengangguk-anggukan kepala sebagai tanda ikut saja.
Didampingi oleh Satpam, kami masuk lift menuju ke lanai 37. Lalu pindah lift lain, menuju ke lantai 56. Setelah sampai di lantai 56, kami diarahkan ke teras luar. Ketka posisi sudah sampai di teras luar, seketika saya berdecak kagum melihat indahnya kota Jakarta di waktu malam. Panorama alam Jakarta di waktu malam sungguh mengagumkan. Gedung pencakar langit, hunian urban dengan lampu-lampunya serta lalu lintas kota yang ramai makin mempesona-kan Jakarta di waktu malam hari. Suasana ini seakan menghapus bayangan penat akibat kemacetan kota di siang hari dan riuh-nya isu korupsi akhir-akhir ini.
[caption id="attachment_157469" align="aligncenter" width="300" caption="Sepanjang Jalan Tahmrin"]
Berdiri di teras luar pada lantai 56 di gedung Grand Indonesia memang suatu anugerah tersendiri bagi saya. Tidak semua orang bisa mendapat akses ke lokasi itu. Berkat teman, saya bisa menikmati pemandangan panorama alam kota Jakarta yang indah. Keberuntungan saya ini kemudian saya abadikan lewat kamera yang sejak tadi saya bawa. Ini kesempatan yang sangat langka untuk belajar “night shoot” pada fotografi.
Malam itu, banyak frame saya ambil untuk Night Shoot dari atas gedung Grand Indonesia. Sepanjang saya masih bisa berdiri di atas gedung itu, saya bidikan kamera saya ke bawah mulai dari Bundaran HI. lalu lintas jalan Thamrin hingga memutar sampai ke gedung-gedung di sebelah GI. Dalam pengambilan foto itu, saya memang harus ekstra hati-hati memegang kamera saya karena angin begitu kuat menerpa seluruh tubuh saya. Sebaiknya memang menggunakan jaket. Tetapi malam itu, karena keinginan saya untuk memotret lebih kuat dibarengi dengan kesempatan yang langka, maka saya tetap nekat memotret indahnya panorama lama Jakarta di waktu malam.
Setelah selesai memotret saya lalu menuju ke kantor teman saya di lantai 32. Dalam pembicaraan saya baru tahu bahwa, fotografer dari National Geoprahic, pernah mengadakan pemotretan di lantai atas itu. Bahkan saya mendapat kabar bahwa lokasi di lantai 56 tadi rencananya akan dibuat restoran untuk umum. Sekarang dalam proses pembuatan sekaligus sedang konsultasi tentang bagaimana mengatasi kencangnya angin. Lalu saya bisa membayangkan jika seandainya restoran itu sudah jadi, pasti banyak orang akan datang untuk menikmati panorama alam Jakarta di waktu malam.
[caption id="attachment_157471" align="aligncenter" width="622" caption="Inilah bentuk Menu Ayam Pengemis Sebelum dibuka"]
Menikmati kuliner “Ayam Pengemis”
Kriteria kuliner yang unik. ekstrem dan sedikit aneh dijadikan pegangan untuk mengantar saya,(setelah puas berfoto dari lantai paling atas Grand Indonesia), ke “Chicken Master” di salah satu restoran di Mal Grand Indonesia. Kata teman saya, “kita pesan ayam pengemis saja, belum pernah mencicipi kan?” Kembali saya mengangguk-angguk kepala. Kami berlima lalu memesan satu porsi “the beggar’s chicken”, (nama populer dari ayam pengemis), serta makanan lainnya.
Kata teman saya, dinamakan ayam pengemis karena dulu di daerah Hangzhou, Cina ada seorang pengemis yang karena laparnya mencuri ayam milik penduduk kampung. Bagi pengemis, ternyata tidak mudah membawa ayam curian-nya yang berkotek-kotek. Karena itu, diambilnya daun teratai untuk membungkus ayam itu sekalian dibalut dengan lumpur-nya. Dengan cara demikian, pengemis itu tidak ketahuan mencuri ayam. Keesokan harinya, terdorong oleh rasa lapar, ayam yang dibalut dengan daun teratai dan lumpur kemudian dibakar dan menimbulkan aroma sedap sampai ke hidung Kaisar yang sedang lewat dan lapar. Kaisar itu kemudian memerintahkan kepada prajuritnya untuk mencari asal usul aroma sedap itu. Tak lama kemudian, ayam pengemis itu disantap oleh Kaisar dan pengemis tadi akhirnya hidup bahagia di Istana berkat “beggar’s chicken”.
Cerita teman saya itu semakin menambah semangat saya untuk segara menyantap ayam pengemis yang sudah ada di meja makan. Kami tidak bisa langsung menyantap nya. Tanah liat pembungkus Ayam pengemis itu harus dipecahkan dulu. Kemudian, terlihat ayam terbungkus dengan kertas aluminium. Lalu pembungkus kertas aluminium dibuka, ternyata masih dibungkus lagi dengan daun (daun teratai?) dan kemudian daun pembungkus dibuka. Kalau sudah demikian, siap untuk disantap. Rasanya, yummy, dan olahan ayamnya harum. Tulangnya pun lunak seperti ayam presto tapi basah.
[caption id="attachment_157485" align="aligncenter" width="622" caption="Nuansa Imlek di Resto Chicken Master Mall Grand Indonesia"]
Setelah itu, teman saya mengajak saya jalan-jalan ke Mal dan istirahat sejenak untuk minum kopi di hotel Indonesia. Saya sempat melihat foto-foto sejarah ketika Presiden Soekarno meresmikan dan menerima tamu asing yang datang ke Hotel Indonesia diantar dengan becak. Sungguh sangat historis sekali suasana nya.
Tulisan ini saya dedikasi kan untuk teman SMA saya, Bapak Koentjoro dan istri serta Bapak Benny dan Istri yang sudah menemani saya hingga hati ini terasa sangat puas melihat indahnya kota Jakarta di waktu malam beserta ekstrem kulinernya. Tentu saja, rasa puas saya ini akan saya bawa dalam penerbangan saya ke Manado pada esok harinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H