Mengibarkan Merah Putih di Kaldera Gunung Lokon

Mendaki gunung kini sudah menjadi kegiatan yang digandrungi oleh banyak orang. Bukan zamannya lagi mendaki hanya untuk mencari sensasi. Lebih dari itu, mendaki gunung dimaknai sebagai hidup sehat dan kebugaran dengan cara melakukan kegiatan jalan-jalan sehat (JJS) di pagi hari.

Mengeluarkan keringat, melemaskan otot-otot kaki, menikmati indahnya pemandangan alam, memperkokoh tali persaudaraan, itulah makna pendakian yang dicari. Tak heran mendaki gunung itu sebuah fun trip kendati tak lepas dari melelahkan. 

Sabtu pagi (19/8) saat mentari masih terlelap tidur, saya dan penyuka JJS sudah berkumpul di halaman sekolah Lokon. Sedianya mau berangkat pukul 04.30 namun nyatanya kami berangkat pukul 05.21. Menunggu semua berkumpul menjadi alasan utama keterlambatan.

Jalur pendakian mengikuti bekas jalur lava erupsi (dokpri)

Turis Perancis menuju dasar Kawah Tompaluan (dokpri)

Gunung Lokon (1.580 mdpl) berada di sebelah Barat Kota Tomohon. Beberapa tahun yang lalu gunung ini sering erupsi mengeluarkan abu vulkanik hingga ribuan meter ke udara. Status siaga sering dilabelkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi melalui Pos Pengamatan Gunung Lokon di Tomohon. Gunung Lokon termasuk jenis gunung "strato vulcano". 

Popularitas gunung Lokon tak lepas dari kisah miris yang sering dihembuskan oleh warga setempat sebagai gunung berbahaya karena seringnya erupsi. Tak hanya itu, gunung ini sudah memakan korban tewas beberapa pendaki gunung.

Jalur pendakian saat kembali (dokpri)

Yang terakhir (26/3/2017) sejauh saya tahu seorang pendaki remaja, David Lambanaung dari Manado tewas karena kepungan asap belerang disertai hujan badai saat berusaha mendekati Kawah Tompaluan. Ia tewas lemas kehabisan oksigen di samping lubang. Jenazah diangkat oleh Tim SAR dari lubang kawah sekitar satu jam lebih karena medan yang berat.

Kaldera (kawah) Tompaluan Gunung Lokon berada bukan di puncak gunung tetapi di punggung. Itulah sebabnya pendakian tidak harus ke puncak gunung. Bisa melhat kaldera yang menjadi pusat letusan (erupsi vulkanik) dan berjalan di cincin (bibir) kawah, sudah terpuaskan. Apalagi kalau asap fumarol (belerang) yang keluar dari kaldera cukup banyak menjadi fenomena alam yang indah dilihat. 

Jarum jam menunjuk angka 05.12 WITA. Sejenak kepala saya mendongak ke atas untuk melihat ke langit. Di ufuk timur, tampak ada gumpalan awan hitam menutupi hingga kesempurnaan matahari terbit terhalang. Saya ingat ramalan cuaca bahwa hari ini berpotensi turun hujan dan matahari hanya mengintip dari balik awan. Kondisi ini sempat membuat ragu. Hanya karena tekad dan kebersamaan keraguan pendakian karena cuaca itu sirna. Bahkan, cerita dan obrolan hangat dan lucu di sepanjang jalur trekking ke puncak Gunung Lokon makin menyemangati kami.

Kota Tomohon (dokpri)

Jalur pendakian yang kami pilih adalah jalur umum yaitu melewati lokasi galian C, tempat warga menambang pasir dan batu material dari lava vulkanik Gunung Lokon. Dari lokasi ini hingga ke kawah dapat ditempuh sekitar 1 hingga 2 jam perjalanan tergantung cepat lambatnya kaki melangkah.

Medan jalur pedakian yang saya dan rombongan lalui, tidaklah terlalu menatang. Cukup mengikuti bekas aliran lava lahar yang sudah membatu dan praktis tak ditumbuhi rumput ilalang setinggi manusia. Meski demikan, karena kontur jalannya bebatuan yang bergelombang dan menanjak, saya beberapa kali berjalan merangkak. Untung sepatu olah raga saya tak mudah membuat terpeleset saat berjalan di atas bebatuan dan pasir. 

Untuk mengimbangi capeknya berjalan, kami sempat istirahat kurang lebih tiga kali. Saat istirahat, tenggorokan saya basahi dengan air mineral untuk menghilangkan rasa dahaga. Begitu pun yang lain dan hanya minum sekedarnya saja.

Turis Perancis (dokpri)

"Ada rombongan bule naik ke Gunung Lokon," kata Mark Bolang saat kami istirahat. Kemudian saya menoleh ke arah rombongan turis asing yang datang dari bawah dan mereka tampak melangkahkan kakinya dengan penuh semangat. Jalan mendaki bebatuan dengan kontur tidak merata dilahapnya dengan tenang.

"Dari mana mereka dan berapa jumlahnya, Om?" tanya saya kepada pemandu rombongan saat melewati saya. Lalu dijawab, mereka turis dari Perancis berjumlah 9 orang. Seketika saya merasa kagum karena mereka sudah tua berkeriput tetapi staminanya kuat berjalan. Kehadiran turis Perancis ini membakar adrenalin kami untuk bergerak meneruskan pendakian seperti tak ingin titik puncak pendakian didahului oleh orang asing ini.

Akhirnya kami tiba di bibir (cincin) kawah Tompaluan hampir bersamaan dengan turis asing tadi. Untuk sampai ke dekat bibir kawah, sekitar 300 meter kami harus berjalan melewati tanjakan pasir bebatuan besar dan kecil yang licin dan mudah terpeleset.

Menyusuri bibir Kawah (dokpri)

Saat melihat ke lubang kawah (kaldera fumarol), sebagian turis asing tadi turun mendekati sumber asap vulkanik. "Wow mereka kok berani sekali turun ke kawah? Apa nggak takut bahaya ya? Atau mereka para geologist?" batin saya sambil mengingat kisah tragis remaja Manado yang tewas gegara ingin lebih dekat ke kawah. 

Dari bibir kawah kami sempat memperbincangkan sudah sampai mana para turis yang turun ke kawah. Postur tubuh mereka tidak begitu kelihatan jelas dari tempat saya berdiri di bibir kawah. Perlu konsentrasi untuk bisa melihat dan untungnya ada yang berjaket merah sehingga kelihatan meski kecil. Saat itu, asap belerang yang keluar dari kawah tak begitu banyak dan tebal, mungkin ini yang memicu mereka turun ke kawah.

Asap fumarol dari dasar kaldera (dokpri)

Saya dan rombongan (12 orang terdiri 3 guru dan 9 siswa asrama) tidak tertarik untuk turun ke kaldera. Pertimbangan kami hanya satu, demi keselamatan. Kami puas memandang kaldera dari atas saja.

Ping dari Kendari senang sampai puncak (dokpri)

"Pak ternyata sumber polote (letusan) cuma begini ya? Maksud saya lubang magmanya nggak kelihatan. Cuma ada batu-batu yang berwarna kuning itu (batu belerang), mengeluarkan asap (uap panas)" tanya Prayse kepada saya. Lalu saya menjelaskan dulu (2014) saat pertama kali naik ke Gunung Lokon, lubangnya masih kelihatan dan saat itu terisi air berwarna biru dan bergelembung mendidih. Sekarang saya lihat sepertinya tertutup oleh longsoran pasir sehingga lubang magmanya sama sekali tidak terlihat. Mungkin, akibat hujan yang akhir-akhir ini melanda Tomohon.

Membayang ketika Gunung Lokon meletus (dokpri)

Pemandangan di seputaran kaldera Tompaluan Gunung Lokon memang indah. Tampak perumahan warga Kota Tomohon seperti menempel di kaki pegunungan Masarang dan Gunung Mahawu. Di arah Timur, Gunung Klabat tampak sedang berselendang kabut putih. 

Kota Manado dan Gunung Manado Tua serta Taman Laut Bunaken bisa dilihat dari kaldera tetapi harus berjalan ke Barat melewat savana sekitar 300 meter menuju bukit kecil. Dari atas bukit inilah lanskap Pantai Amurang hingga Manado terlihat jelas.

Batu paling besar di Gunung Lokon (dokpri)

Selain foto kami juga mengibarkan Sang Saka Merah Putih di atas batu besar tak jauh dari lubang kawah. "Kita kibarkan bendera Merah Putih untuh merayakan HUT Kemerdekaan RI ke 72 dengan memperkokoh tali persaudaraan dan kesatuan demi NKRI," ucap saya di hadapan mereka di bawah langit biru.

Saya Indonesia, kata siswa Papua (dokpri)

Kebetulan siswa saya berasal dari berbagai daerah seperti Kendari, Balikpapan, Timika, Sanger, Palu, Tomohon, Bengkulu dan Semarang. Dalam pendakian kali ini rasa keberagaman asal usul dirajut bersama dengan semangat kebersamaan hingga mencapai puncak kaldera Tompaluan Gunung Lokon.

Terus kibarkan bendera Merah Putih (dokpri)

Sekitar satu jam setengah kami berada di sekitar kaldera dan tiba di asrama sekitar jam 11 siang. 

Dirgahayu Kemerdekan ke 72 RI. Mari berkerja bersama demi keutuhan NKRI.