Pagi ini langit Semarang tampak cerah. Di bulan Desenber ini langit lebih banyak mendung dan hujan. Langkah kaki tersendat gegara cuaca tak mau bersahabat. Ingin wisata alam, tak ayal mengurungkan niat karena kondisi cuaca. Beruntung hari ini (23/12/2016) cerah, kaki terasa gatal untuk melangkah.
“Ayo ke trekking mangrove Maerakaca, pakde,” usul Tika keponakan saya. “Di mana itu persisnya?” Tika menjelaskan bahwa trekking mangrove itu berlokasi di kawasan Taman Mini Jawa Tengah. Dikenal warga dengan sebutan PRPP. Untuk memikat kunjungan wisata, dibuat jalan setapak mengelilingi hutan mangrove Grand Maerakaca. “Persisnya di muka anjungan Salatiga” ucap Tika menegaskan.
Selain di Puri Maerakaca, Semarang memiliki Mangrove Edu Park di Pantai Maron yang berlokasi tak jauh dari Bandara International Ahmad Yani. Tak sedikit wisatawan datang berkunjung ke lokasi ini untuk edukasi, riset dan wisata alam. Bagi yang suka hunting foto, lokasi ini menyajikan pemandangan alam yang eksotik antara hutan dan laut terutama saat matahari terbenam.
Tetiba di kawasan “Taman Mini Jawa Tengah” Puri Maerakaca, kaki langsung melangkah ke anjungan Salatiga setelah melewati beberapa anjungan yang saat itu sepi pengunjung karena tak ada iven. Saat berjalan gerahnya alam pantai terasa di badan. Tenggorokan pun terasa kering dan air botol aqua diminum untuk menghilangkan dahaga. Oh ya tiket masuk kawasan itu hanya ditarik 7 ribu per orang.
Jarak antara pintu gerbang ke lokasi hutan Mangrove sekitar sepuluh menit berjalan kaki. Jika menggunakan sepeda motor, bisa lebih cepat sampai.
Jalan trekking mangrove terbuat dari potongan bambu yang ditata dan dianyam. Lebar jembatan sekitar 2 meter. Untuk berjalan berdua atau bertemu dengan wisatawan lainnya masih terasa nyaman. Namun jangan sekali-kali berlari-lari di jembatan bambu itu. Resiko tercebur ke laut ditanggung sendiri. Jika bawa anak-anak masih kecil, tetap perlu pegangan tangan agar tidak terpeleset dan jatuh ke laut.
Sesekali terlihat ikan bandeng (Chanos-chanos) yang suka sekali dengan tinggal di rawa-rawa bakau berair payau asin. Ingin rasanya memancing ikan bandeng, namun di tempat itu pengunjung dilarang memancing.
“Do & Don’ts trekking mangrove. Bungkus makanan dan minummu sudah kosong? Jangan ragu serahkan pada tong sampah terdekat” sebuah papan nama berdasar merah menyala dan bertuliskan warna putih menggantung di pojok-pojok jalan setapak. Upaya pengelola untuk mengingatkan pengunjung tidak membuang sampah sembarangan.
Lebih daripada itu, edukasi budaya bersih dan mencipatakan tempat nyaman yang bersih dari sampah, rupanya terus digalakkan di lokasi wisata. Kesan jorok dan kotor serta bau, rasanya tak ada saat saya menyambangi hutan mangrove ini. Tapi bisakah budaya bersih ini ditiru di semua lokasi wisata? Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H