Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Langit Membisu Tanpa Jejak

6 Februari 2016   06:23 Diperbarui: 6 Februari 2016   07:31 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 [caption caption="Senja kita (Foto: dokpri Trilokon)"][/caption]

Jarak. Ya jarak antara dirimu dan aku, sangat jauh. Bahkan sore yang letih tak mau menunggu. Kau tahu, aku harus menyeberangi samudera. Ombak yang tinggi dan gelombang air yang menghentak, itu ilusi yang mengancam.

Betapa jauhnya kau, aku sering membisu pada sepi. Mendongak ke atas, bulan tak kunjung purnama. Langit seperti sedang berduka dalam kerudung hitam. Ingin aku protes kepada pencipta jarak. Selalu dijawab begini.

"Cinta tak kenal jarak!"

Messenger itu berbunyi. Dia meracik kata-kata. Mencumbui menjadi kalimat indah pada senja kota. Yang jauh menjadi dekat. Yang dekat menjadi jauh. Itu jarak. Ada jarak terbentang lebar, antara aku dan dirimu. Tanganku tetap saja kosong menjaring angin.

"Mas kalau naik pesawat, jarak menjadi pendek"

"Itu mahal, Dik"

"Tidak mahal Mas, asal...."

Tiba-tiba senyap. Tak ada angin yang lewat di antara ruang batin. Sekali lagi, jarak menghentikan percakapan malam. Dia bungkam. Mulutku terkatup.

Tapi pikiranku berputar pada satu titik. Sebenarnya aku ingin meluruskan tentang burung besi itu. Aku ingin katakan sesuatu yang tak pernah dia dengar sebelumnya. Terus terang, aku tidak suka naik burung besi. Bukan karena mahal. Bukan karena ia suka "delay". Bukan karena pelayanannya yang kurang baik.

Aku menelan ludah. Lalu menarik napas dalam-dalam. Aku berusaha menyusun kata-kata yang tepat. Kata-kata yang bukan meletup pada asa. Justru, aku mencoba membasuh luka lama. Kusiram dengan musik klasik kesukaanku.

Bach, Mozart, Beethoven, Haydn adalah nama-nama yang akrab di telingaku sejak masih sekolah di SMA. Bila menyimak setiap musik klasiknya, ruang batinku terasa membuncah dalam hangatnya diri.

"Asal Mas mencintaiku" ucapnya mengagetkan seperti petir di siang hari.

"Tapi, jarak kita jauh Dik" protesku. Bukan karena aku tidak mau menangkap cinta itu. Bukan karena tidak suka pada cinta. Bukan karena malam telah lama tertidur nyenyak.

Tetapi, di antara kita ada jarak. Aku sudah terlalu lama hidup sendirian. Sedangkan adik sudah lama ditinggal sendirian. Dalam kesendirian itu ada sepi berlabuh pada bulan. Berkas sinarnya menerobos kabut malam. Pada gigil, langit membisu tanpa jejak.

"Mas, hujan. Mari berteduh di rumahku"

Lalu pintu rumahnya di buka. Aku berjalan masuk. Di ruang tamu, ada bunga hidup menghiasi. Harum semerbak. Di meja makan ada makanan. Candle Light dinner, dimulai.

Setelah itu aku pamit pulang. Langkahku semakin membuat jarak itu panjang. Dia di pulau kecil. Aku di pulau besar. Namun cinta semakin membesar.

Dia tak lagi memanggil Mas. "Selamat tidur Paman" ucapnya. Tanganku terasa beku oleh hawa dingin pegunungan. Musim hujan telah tiba setelah kemarau panjang.

Lelap sudah asa itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun