Bach, Mozart, Beethoven, Haydn adalah nama-nama yang akrab di telingaku sejak masih sekolah di SMA. Bila menyimak setiap musik klasiknya, ruang batinku terasa membuncah dalam hangatnya diri.
"Asal Mas mencintaiku" ucapnya mengagetkan seperti petir di siang hari.
"Tapi, jarak kita jauh Dik" protesku. Bukan karena aku tidak mau menangkap cinta itu. Bukan karena tidak suka pada cinta. Bukan karena malam telah lama tertidur nyenyak.
Tetapi, di antara kita ada jarak. Aku sudah terlalu lama hidup sendirian. Sedangkan adik sudah lama ditinggal sendirian. Dalam kesendirian itu ada sepi berlabuh pada bulan. Berkas sinarnya menerobos kabut malam. Pada gigil, langit membisu tanpa jejak.
"Mas, hujan. Mari berteduh di rumahku"
Lalu pintu rumahnya di buka. Aku berjalan masuk. Di ruang tamu, ada bunga hidup menghiasi. Harum semerbak. Di meja makan ada makanan. Candle Light dinner, dimulai.
Setelah itu aku pamit pulang. Langkahku semakin membuat jarak itu panjang. Dia di pulau kecil. Aku di pulau besar. Namun cinta semakin membesar.
Dia tak lagi memanggil Mas. "Selamat tidur Paman" ucapnya. Tanganku terasa beku oleh hawa dingin pegunungan. Musim hujan telah tiba setelah kemarau panjang.
Lelap sudah asa itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H