[caption caption="Senja kita (Foto: dokpri Trilokon)"][/caption]
Jarak. Ya jarak antara dirimu dan aku, sangat jauh. Bahkan sore yang letih tak mau menunggu. Kau tahu, aku harus menyeberangi samudera. Ombak yang tinggi dan gelombang air yang menghentak, itu ilusi yang mengancam.
Betapa jauhnya kau, aku sering membisu pada sepi. Mendongak ke atas, bulan tak kunjung purnama. Langit seperti sedang berduka dalam kerudung hitam. Ingin aku protes kepada pencipta jarak. Selalu dijawab begini.
"Cinta tak kenal jarak!"
Messenger itu berbunyi. Dia meracik kata-kata. Mencumbui menjadi kalimat indah pada senja kota. Yang jauh menjadi dekat. Yang dekat menjadi jauh. Itu jarak. Ada jarak terbentang lebar, antara aku dan dirimu. Tanganku tetap saja kosong menjaring angin.
"Mas kalau naik pesawat, jarak menjadi pendek"
"Itu mahal, Dik"
"Tidak mahal Mas, asal...."
Tiba-tiba senyap. Tak ada angin yang lewat di antara ruang batin. Sekali lagi, jarak menghentikan percakapan malam. Dia bungkam. Mulutku terkatup.
Tapi pikiranku berputar pada satu titik. Sebenarnya aku ingin meluruskan tentang burung besi itu. Aku ingin katakan sesuatu yang tak pernah dia dengar sebelumnya. Terus terang, aku tidak suka naik burung besi. Bukan karena mahal. Bukan karena ia suka "delay". Bukan karena pelayanannya yang kurang baik.
Aku menelan ludah. Lalu menarik napas dalam-dalam. Aku berusaha menyusun kata-kata yang tepat. Kata-kata yang bukan meletup pada asa. Justru, aku mencoba membasuh luka lama. Kusiram dengan musik klasik kesukaanku.