[caption id="attachment_137161" align="aligncenter" width="622" caption="Gadget Feysen dan Model"][/caption]
Tahun 1998, untuk pertama kali saya punya handphone (Hp). Untuk mendapatkan gadget Hp itu, saya harus merogoh kocek saya cukup mahal waktu itu. Nilainya bertambah mahal ketika saya masukkan simcard abonemen dari salah satu operator. Waktu itu, posisi saya berada di Pontianak hingga tahun 2000.
Menggenggam Hp di tangan dan mengantonginya, kemana saya pergi menjadi kebanggaan tersendiri. Saya merasa pede sekali berhadapan dengan orang yang sama-sama memiliki Hp. Dalam pergaulan dengan orang lain serasa harga diri ini diperhitungkan oleh rekan bisnis, rekan kerja bahkan tetangga saya. Kemudahan berkomunikasi dengan siapa saja lewat telpon dan sms membuat Hp menjadi gadget yang disayang-sayang.
Tetapi betapa terkejutnya, ketika Hp saya ajak pulang mudik ke Jawa. Borosnya minta ampun. Kena roaming hingga tagihan membengkak baik saat menerima maupun menelpon pulus mengirim sms kepada rekan-rekan saya. Kendati mahal, komunikasi dan berita yang saya dapat, selalu ter-update terus dan rasanya jarak tidak lagi menjadi hambatan dalam berkomunikasi.
Hp jadull saya tetap saya bawa ketika saya kembali ke jawa karena tugas di Bumi Kalimantan sudah rampung. Agar Hp tetap menjadi alat komunikasi yang efektif, simcard lama saya ganti baru. Alamah, bukan main terkejutnya harga simcard baru seharga Hp sekarang. Kembali saya harus merogoh kocek saya sekitar 500 ribu rupiah saat itu. Itu pun antri untuk dapat simcard baru.
Seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi, Hp jadul saya terpaksa saya lengser ke adik saya. Tawaran gadget baru beda merek memang menggiurkan hati saya untuk menggantinya. Pertimbangan mengganti Hp sangat praktis karena Hp keluaran terbaru awet baterenya.
Sejak tahun 2001 dan seterusnya, perkembangan dan kemajuan Hp sangat pesat. Spesifikasi dan fitur yang dibenamkan dalam barang mungil itu, makin canggih dan kompleks. Seiring dengan itu, simcard operator seluler juga menawarkan fasilitas dan harga murah. Bahkan terkesan operator seluler mencari keuntungan dari menjual simcard dan pulsa yang sangat terjangkau bagi pelanggan.
Ringkasnya, gadget Hp sering saya ganti dengan produk terbaru yang lebih efisien dan efektif. Rayuan rekan-rekan saya untuk mengganti Hp rasanya tak kunjung henti menggoda saya. Saling pamer barang baru berbuah pada sifat kompetitif yang menumbuhkan kebiasaan dalam diri saya. Bukan menguasai hp, malah dikuasai oleh hp. Apakah ini lifestyle manusia modern? Entahlah.
Lama kelamaan saya baru sadar ternyata seringnya ganti Hp berbarengan dengan munculnya produk baru, jumlah hp saya mencapai 20 buah lebih. Gadget yang tak terpakai akhirnya menjadi sampah-sampah elektronik yang menumpuk di gudang karena secara kegunaan, sudah jadul banget. Karena itu, saya sekarang sadar bahwa gadget apapun akhirnya menyampah di bumi ini. Di mana lagi saya mendapatkan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) untuk sampah gadget–gadget ini?
Satu lagi saya bisa belajar dari sampah gadget ini. Sifat gadgetitu pada akhirnya menjadi barang yang “hanya sekali pakai sesudah itu dibuang”. Jika demikian, isi kantong saya siap-siap dirogoh kembali untuk melayani gadget ini. Berapa jumlahnya? Tergantung pribadi dan kemampuan kita. Mengapa? Kalau saya mudah tergiur dengan tawaran gadget yang canggih, maka saya harus siap-siap menguras tabungan saya yang kadang bisa lima kali dari gaji sebulan. Mengikuti gaya modern memang mahal harganya yang kadang tidak sebanding lurus dengan gengsi dan fesyen yang kita jalani.
Membeli gadget sama seperti membeli sepatu. Di pasar banyak merek sepatu dijual dengan beragam harga dari yang murah hingga jutaan. Kalau beli yang murah, selain tampak punya sepatu baru, juga gampang sekali rusak alias tidak tahan lama. Yang harga mahal, rata-rata awet. Hitung-hitung lebih baik beli yang mahal tapi awetnya bisa sampai dua tahun lebih.
Demikian juga gadget. Beli gadget yang mahal dengan pertimbangan awet dan aplikasi serta kemampuan gadget terutama Hp masih bisa bertahan lama. Tapi, sekali lagi ini tergantung kemampuan kita masing-masing. Dalam hal ini, semua orang tidak sama kemampuannya. Namun, gaya kehidupan seperti itu setidak-tidaknya mempengaruhi keputusan saat ketika ingin membeli gadget yang terbaru. Pertimbangan pribadi ini bisa makin menggila ketika kita berada di lingkungan orang yang sangat gaptek terhadap gadget. Atau, seringnya jalan-jalan ke mall bisa jadi kita mudah jatuh dalam godaan untuk ingin selalu mengganti baru gadget yang kita miliki.
Kesimpulannya apa? Gadget terutama Hp itu boleh dibilang sudah melekat dalam pribadi seseorang. Gadget sudah menjadi bagian dari lifestyle orang yang suka bersolek diri di hadapan orang dengan tingkah fesyen yang glamor. Di sisi lain, gadget itu adalah sampah elektronik yang memenuhi ruang dan waktu hidup kita. Semakin maju kemajuan teknologi dan informasi semakin cepat gadget (barang elektronik) itu menjadi tumpukan sampah di bumi ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H