[caption id="attachment_333643" align="alignnone" width="600" caption="Tri Lokon - Bayang Mercususar di atas Rumah Belanda"][/caption]
“Sekali melihat lebih baik daripada seratus kali mendengar, dan satu kali mengalami lebih baik daripada seratus kali melihat” begitulah bunyi sebuah pepatah kuno yang konon berasal dari Tiongkok.
Makna pepatah itu, bahwa mengalami lebih baik daripada hanya melihat atau mendengarkan. Orang yang mengalami sama halnya orang terlibat, berinteraksi, bergumul dengan apa yang dihadapi pada saat itu juga. Sedangkan, melihat dan mendengar adalah sikap orang pasif. Hanya menonton saja kenyataan yang ada.
Liburan sekolah Juni ini, saya menuju ke Belitung untuk “mengalami” seperti kata pepatah tadi. Selain itu saya tergoda oleh foto-foto Belitung yang diunggah di FB oleh teman saya. Tak hanya itu, novel Laskar Pelangi yang ditulis Andrea Hirata (2005) dan kemudian diangkat ke layar lebar oleh sutradara Riri Riza tahun 2008, ikut menggelitik hati saya untuk segera ke Belitung.
Ketokohan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dari Manggar Belitung, yang kini menjabat sebagai Plt. Gubenur DKI menggantikan Joko Widodo yang berjuang menjadi Presiden RI ke 7, tak urung juga menjadi magnet dan menaikkan pamor wisata Belitung.
Minggu sore (29/6), burung besi itu mendarat mulus di landasan basah sehabis turun hujan. Rasa asing membuncah di hati ketika saya tiba di bandara HAS Hanandjoeddin. Mungkin karena baru pertama kali saya menginjakkan kaki di sini. Setelah antri mengambil bagasi, saya melangkah menuju ke ruang penjemputan.
Saya dijemput oleh cowok muda. “Ini kuncinya Pak. Mobilnya ada di tempat parkir di sebelah sana” ujar Henkus, dari Baginda Tours yang membantu menyewakan mobil Avanza. Tak banyak yang dibicarakan. Akhirnya saya sudah berada di dalam mobil sewaan. Roda mobil bergerak mengikuti mobil Henkus di depan. Saya diantar Henkus menuju ke penginapan Bunga Pantai di Jalan Patimura,Tanjung Pandan yang sudah saya booking sebelumnya.
[caption id="attachment_333647" align="alignnone" width="600" caption="Tri Lokon - Penginapan Bunga Pantai"]
Di Bunga Pantai, saya berkenalan dengan satu keluarga dari Palembang yang sama-sama sedang berlibur di Belitung. Setelah bercerita berbagai hal, akhirnya saya bertanya tentang rencana perjalanannya selama di Belitung. Mereka booking di Bunga Pantai 3 malam. Itu berarti sama dengan saya. Tawaran saya untuk sama-sama berwisata dengan menggunakan mobil yang saya sewa per hari 200 ribu, disetujui oleh Pak Pansi dengan senang hati.
Senin pagi sehabis breakfast nasi goreng, kami sudah siap untuk meluncur. Jadwal hari ini kami ingin menuju ke Tanjung Kelayang, pelabuhan nelayan yang menjadi titik keberangkatan para wisatawan ke pulau-pulau hingga pulau Lengkuas.
[caption id="attachment_333653" align="alignnone" width="600" caption="Pulau Burung, Mirip Kepala Burung Garuda"]
Kurang dari setengah jam dari penginapan, kami sudah tiba di Tanjung Kelayang. Jalan aspal mulus dan lalu lintas yang sepi, membuat kami tidak merasa jauh. Cuaca pagi di pantai Tanjung Kelayang Senin itu cukup cerah. Pantulan sinar mentari pagi makin memperindah bunga pantai laut Tanjung Kelayang yang dihiasi oleh batu-batu granit.
“Seharusnya bapak booking kapal dulu jauh-jauh hari. Soalnya kapal-kapal nelayan yang ada di sana itu sudah ada yang pesan Pak. Tapi, saya coba carikan apakah masih ada kapal yang bisa dipakai” ujar Amri nelayan yang saya jumpai di pantai. Lelaki paruh baya itu kemudian asyik bertelpon dengan hapenya. Entah apa yang bicarakan. Yang jelas logat Belitungnyatedengar cukup keras meski saya tidak mengerti maksudnya.
“Tinggal satu kapal Pak. Jadi sewa?” ujar Amri, nelayan berkaos hitam dan bercelana pendek tanpa alas kaki. Sementara Pak Pansi dan keluarga menunggu di bawah pohon cemara udanguntuk berteduh dari sengatan terik matahari pagi.
Tarif sewa kapal di mana-mana sama. Ini kesepakatan antar para pemilik kapal yang digunakan untuk berwisata di sekitar Tanjung Kelayang. Untuk sewa kapal dipatok 400 ribu. Sewa baju pelampung, 20 ribu per orang.
Tak lama kemudian, deru mesin kapal cukup dominan ketika kami sudah berada di atas kapal. Sebelumnya saya sempat bertanya tentang rute perjalanan kapal. Pak Amri kemudian menjelaskan, “pertama, saya akan mengantar ke pulau Burung, lalu pulau Batu Belayar, pulau Pasir, pulau Lengkuas, pulau Babi, dan kembali ke pantai Tanjung Kelayang”.Kami menurut saja dan memang begitulah rute wisata yang sudah rutin dijalankan.
[caption id="attachment_333655" align="alignnone" width="600" caption="Kapal Wisata Berlabuh di Pulau Babi"]
Air laut begitu tenang dan hampir tak berombak sehingga berlayar dari pulau ke pulau menjadi pengalaman yang menyenangkan. Sepanjang perjalanan di atas laut, mata dan hati dihibur oleh indahnya pulau berbatuan granit, dengan kejernihan air sehingga bisa melihat terumbu-terumbu karang yang masih alami.
Pada hari itu ada sekitar 50 kapal nelayan melayani para wisatawan. Bayangkan saja dengan rute yang sama makan semua tempat yang disinggahi pasti ramai dan padat. Di pulau Pasir, saya tak leluasa berfoto ria. Banyaknya wisatawan, maka toleransi untuk berfoto pada spot yang sama menjadi solusi terbaik daripada berebutan.
Lokasi yang paling indah adalah pulau Lengkuas. Dari jauh pulau ini sudah berdaya pikat karena di pulau itu berdiri dengan gagah mercusuar putih yang dibangun pada jaman Kolonial Belanda 1882.Tak hanya itu, spot snorkelingnya pun ramai dikunjungi. Sementara keluarga Pansi bersnorkeling, saya ingin menaiki mercusuar yang memiliki 18 tangga.
[caption id="attachment_333656" align="alignnone" width="600" caption="Tri Lokon - Dari puncak Mercusuar"]
“Aqua satu berapa pak?” “Lima ribu” “Beli satu pak”. Saya langsung membasahi kerongkongan saya yang sudah terasa mengering. “Kalau naik mercusuar harus bayar pak?” “Hanya memberi sumbangan per orang 5 ribu saja”. “Saya naik dulu ya pak, nanti kalau sudah turun saya bayar aqua dan karcis masuk mercusuarnya”. Pak penjaga yang berjualan makan minum di lorong teras gedung tua dekat mercusuar, hanya mengangguk menanggapi permintaan saya.
Sebelum masuk mercususar setinggi 70 meter, kaki wajib dalam keadaan bersih. Lalu, kakiku saya siram air supaya pasir putih tidak menempel dan harus menanggalkan alas kaki. Saya lalu masuk ke mercusuar peninggalan Belanda. Bayangkan 18 lantai mercusuar akhirnya saya taklukkan meski dengan napas ngos-ngosan yang luar biasa. Bersamaan dengan saya, beberapa anak muda tampak bergegas naik mendahului saya. Hmm tenaga mudanya masih beringas.
Berdiri di lantai paling atas mercusuar, saya melihat betapa indahnya panorama alam di sekitar pulau Lengkuas. Gradasi air laut hijau biru, batu-batu granit serta pasir putihnya yang lembut seperti bedak membuat saya bangga berdiri di puncak mercusuar. “Bunga pantai” itu menyebarkan bau harum yang menggugah selera banyak wisatawanuntuk singgah menikmati pasir putih, air laut yang bersih biru dan aneka panorama bebatuan granit serta spot-spot snorkeling yang bikin siapapun.
Setelah puas memanjat mercusuar, dan kemudian, saya menuju penjual kelapa muda. Minum air kelapa dan mengunyah buah mudanya makin melengkapi wisata saya sepanjang siang hari di bunga pantai Belitung ini. Kelapa muda seharga 10 ribu terasa sepandan dengan pengalaman indah selama di pulau Lengkuas.
[caption id="attachment_333657" align="alignnone" width="600" caption="Tri Lokon - Meninggalkan Pulau Lengkuas"]
Setelah dari Lengkuas kami mampir di pulau Babi (konon dulu pulau kecil ini digunakan untuk peternakan babi yang dikelola warga).Pak Pansi sekeluarga berbilas diri dengan air tawar yang boleh dipakai bagi wisatawan di pulau ini. Setelah itu kami kembali ke Tanjung Kelayang dan membereskan uang sewa kapal.
Selanjutnya kami napak tilas menuju ke Laskar Pelangi (bersambung).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H