[caption id="attachment_334039" align="alignnone" width="600" caption="SD Muhammadiyah Gantung, Di atas Limbah Pasir Timah (dokpri)"][/caption]
Keindahan alam kadang tak selalu mudah diucapkan dalam kata-kata. Hanya dengan bersinergi dengan alam, bangunan dan rasa, keindahan itu sangat memukau hati. Itulah pengalaman menggapai bungai pantai antara Lengkuas dan pantai Kelayang pada hari Senin (29/6).
Esok harinya, kami menuju Manggar, Belitung Timur. Perjalanan kami digerakkan oleh dua hal. Ahok dan Kopi. Manggar adalah tempat Ahok (48 th) dilahirkan. Mulai dari anggota DPRD hingga menjabat Bupati Belitung Timur. Kecamatan Manggar tak bisa lepas dari warung kopi. Manggar kota wisata 1001 warung kopi.
[caption id="attachment_334030" align="alignnone" width="600" caption="Nasehat Pendidikan untuk Hidup Berhasil (dokpri)"]
Rasa penasaran menghentikan mobil kami untuk sekedar melepas penat perjalanan cukup panjang dari Tanjungpandan hingga Manggar selama lebih dari dua jam. “Cik, kopinya berasal dari mana?” Tanya saya kepada Cik penjual Warkop Kongfu. “Dari Lampung Pak” jawabnya sambil menghantar kopi dan pesanan kukis kami.
Cerahnya cuaca di Manggar membuat butir-butir peluh berjatuhan di baju. Selepas meneguk secangkir kopi Lampung di Manggar, pikiran tertuju ke Laskar Pelangi. Roda mobil bergerak menuju ke kecamatan Gantung yang berjarak kurang dari 10 km.
Sempat bertanya ke sana kemari, akhirnya kami sampai di Museum Kata. Jalan Laskar Pelangi 7 Kecamatan Gantung. Rumah itu sangat sederhana. Museum kata itu sudah dikunjungi oleh banyak wisatawan. Di antaranya ada bus pariwisata yang sudah parkir di seberang jalan. Di bawah pohon mobil saya parkir melindas tanah berpasir putih "mining" bekas tambah timah.
[caption id="attachment_334031" align="alignnone" width="600" caption="Awalnya dari Kesederhanaan (dokpri)"]
Papan penunjuk bertuliskan Museum Kata tergantung di batang pohon yang sudah terbakar tapi terkesan kokoh. Alang-alang di bawahnya dibiarkan tumbuh agar sederhana alami mulai membalut benak setiap pengunjung.
Banyak sepatu dan sandal berserakan di depan pintu. Memasuki Museum Kata Andrea Hirata, pengunjung serentak melepas alas kakinya untuk sebuah penghormatan. Andrea Hirata menyihir siapa pun untuk masuk dalam kesederhanaan sebuah pendidikan.
[caption id="attachment_334032" align="alignnone" width="600" caption="Museum itu Rumah Biasa (dokpri)"]
[caption id="attachment_334033" align="alignnone" width="600" caption="Ruang Belakang Museum itu ya Kebun Pisang (dokpri)"]
“Dream for God will embrace your dreams” (Bermimpilah, karena Tuahn akan memeluk mimpi-mimpimu) sambut Andrea Hirata, penulis novel terlaris Laskar Pelangi (2005) kepada siapapun yang memasuki “kata-kata”nya yang menempel di setiap sudut gubuknya.
Museum kata, Adrea Hirata” lahir dari sebuah mimpi besar tentang arti dan makna pendidikan bagi keberhasilan hidup seorang. Semua kata yang disampaikan dalam Museum itu telah dibalut dengan megah bersamaan dengan visualisai foto-foto yang ikut membikai frame demi frame.
Mata saya seolah tak berkedip menyapu seluruh isi rumah museum kata mulai dari pintu masuk hingga melewati batas dapur Warkop “kopi kuli” di ruang belakang. Semua ruang dalam museum tak pernah lepas dari kata-kata selalu mengepul bak kopi yang sedang direbus dalam teko. Adalah pabrik kata-kata yang menyatu dengan foto-foto hingga visualisasi itu penuh bermakna.
“Om boleh minta tolong difoto dengan hape saya” tegur seorang cewek saat mata saya menghujam pada lukisan berjudul “The Rainbow Children” karya Andrea Hirata. Sebuah foto yang berkisah tentang sekelompok remaja laki-laki tanpa baju berjalan beriringan melewati kubangan air hingga sosoknya terbayang pada air. Entah pesan apa yang mau disampaikan oleh Andrea Hirata kepada pengunjung lewat media fotografinya.
[caption id="attachment_334035" align="alignnone" width="600" caption="Foto Refleksi Para Siswa (dokpri)"]
“Sekolah adalah kesempatan, berkah dan kegembiraan” simpul kata bermakna pada foto lanskap Gedung SD Muhamadiyah di Gantung. Di SD inilah, tempat lokasi syuting film Laskar Pelangi dab sekaligus SD yang konon akan dibubarkan oleh Diknas Sumbagsel, apabila muridnya kurang dari 10 untuk tahun pelajaran baru.
Harun, Lintas, Lintang, Ikal, Mahar dan teman-temanya termasuk pendatang terakhir Flo, oleh Bu Muslimah, guru mereka, disebut Laskar Pelangi. Laskar pendidikan yang berteriak keras bahwa menurut UUD , setiap warga Indonesia berhak mendapatkan pendidikan. Meski hak pendidikan itu terwujud dalam ketegaran dan mentalitas besekolah yang tinggi antara siswa dan para gurunya.
Andrea Hirata patut diacungi jempol karena membuka utopia sebuah sekolah gubug di tengah melimpahnya harta karun berupa eksploitasi timah namun pendidikan terpinggirkan begitu saja.
Semua yang dikisahkan dalam novel dan film Laskar Pelangi, oleh Andrea Hirata, asli orang Gantung, dikemas sedemikian rupa sehingga terwujudlah Museum Kata. Pabrik kata-kata yang dieksplore bersinergi utuh dengan foto dan interior ruang yang sederhana.
[caption id="attachment_334036" align="alignnone" width="600" caption="Mesin Jahit Lawas (dokpri)"]
[caption id="attachment_334037" align="alignnone" width="600" caption="Post Office Kuno (dokpri)"]
[caption id="attachment_334038" align="alignnone" width="600" caption="Teko Kupi Kuli (dokpri)"]
Mesin jahit kuno, perlengkapan jadul dari kantor pos, ruang dapur dengan peralatan masak dari kayu bakar, dinding-dinding kayu yang seolah sudah dimakan usia dan rayap, kursi besi kuno, ruangan kelas dengan minim bangku, itulah wajah khas Museum Kata.
[caption id="attachment_334059" align="alignnone" width="600" caption="Museum Kata, Museum Karya Sastra (dokpri)"]
Museum kata, bukanlah sekedar pabrik kata-kata atau pameran foto-foto adegan demi adegan dari film Laskar Pelangi. Museum kata adalah museum karya satra yang pertama kali di Indonesia yang berhasil menyuarakan bahwa meskipun bangunan SD itu kumuh namun impian belajar ke luar neger seperti ke Paris bisa terwujud asal tekun, bermental baja, rajin, berpikir positif, rendah hati dan takut akan Tuhan.
Akhirnya museum kata Andrea Hirata (2012), menjadi salah satu museum-museum yang berjaya di Indonesia yang tak akan dilupakan oleh dunia pendidikan. Saking asyiknya merunut kata dan foto yang tertempel di hampir semua dinding ruangan, saya lupa kalau sandal saya ada di muka pintu depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H