Hingga akhirnya setelah mengelana begitu jauh, si musafir pulang, bersujud di samping ranjang ibunya. Dan justru dari ibunya yang tidak pernah ke mana-mana itulah, dia menemukan satu demi satu makna perjalan yang salama ini terabaikan.
Pada bulan Januari 2015, saya mengisi waktu liburan saya dengan menyempatkan diri untuk membaca novel. Novel tersebut berjudul Titik Nol, yang sebenarnya sudah menarik perhatian saya sejak berbulan-bulan lalu. Buku setebal 552 halaman yang ditulis oleh Agustinus Wibowo sangat menginspirasi saya.
Saya sangat menyukai buku ini, karena menurut saya buku ini dapat memberikan suatu makna baru bagi orang yang membacanya. Titik Nol adalah sebuah catatan tentang perjalanan panjang seorang lelaki muda bernama Agustinus Wibowo, yang juga memuat refleksi dari suatu perjalanan dan sang Mama yang berjuang menghadapi kanker.
Dalam buku ini, pembaca akan melihat penulis dari dua sisi. Penulis yang gagah berani, tak kenal lelah, dan takut dalam mencari arti hidupnya dan sekaligus Agustinus yang hanya seorang manusia biasa yang tak lepas dari kecemasan, ketakutan, dan kesedihan. Perasaan dan emosi yang dituliskan oleh penulis sangat jelas dan jujur sehingga pembaca dapat hanyut ke dalam cerita.
Pada awalnya, buku ini bercerita tentang mimpi perjalanan Agus dari Beijing ke Afrika Selatan. Dengan awal menyebrang ke Tibet, lalu Nepal, India, dan Pakistan, bertemu dengan banyak orang-orang yang berbeda latar belakang, keyakinan, kebiasaan, dan karakter yang memberikan pandangan baru tentang hidup. Perjalanannya tidak selalu mulus, layaknya seorang backpacker yang penuh suka duka. Dengan uang yang terbatas, Agus harus mencari jalan pintas bersama para backpacker lain. Walaupun penuh rintangan seperti dicopet, terkena diare dan hepatitis karena sanitasi di India yang buruk, perang di Afganistan, namun Agus selalu melihat hal-hal positif yang membuatnya belajar mengenai apa itu arti hidup. Namun mimpi tersebut harus beristirahat di Afganistan. Di tengah perjalannya melintas benua, Agus mendengar kabar bahwa ibunya terkena kanker. Agus pulang setelah 10 tahun meninggalkan rumah dan kembali ketika ibunya terbaring lemah. Di samping ibunya, Agus selalu merasa belum berbakti. Tapi justru di samping ibunya, dia mengerti tentang makna perjalanan yang selama ini dicarinya.
Safarnama yang dituliskan oleh Agustinus Wibowo tidak hanya sekedar cerita tentang petualangannya dalam menaklukan berbagai tempat, namun berisi juga tentang pengalaman kehidupan masa lalu yang dikaitan dengan masalah kehidupannya yang direfleksikan dan menjadi beberapa unsur-unsur kehidupan yang menarik bagi pembaca, seperti cinta, persahabatan, kepedulian, keyakinan, dan rasa bersyukur kepada Tuhan.
Dalam kehidupan yang kita jalani, kita dapat mengikuti jejak seorang Agustinus Wibowo dengan melakukan hal-hal sederhana yang terjadi di dalam kehidupan kita. Salah satu wujud konkret paling sederhana adalah dengan mengucap syukur kepada Tuhan dan sesama dengan tulus atas apa yang kita miliki. Seperti yang diceritakan dalam bukunya, tentang betapa menyedihkan dan buruknya kehidupan yang dilihatnya, namun masih melihat adanya cinta kasih yang tulus ditengah sulitnya hidup yang membuat dia menjadi lebih bersyukur dan memaknai hidup di setiap momennya. “Ternyata, sungguh mudah untuk berbahagia. Berbahagia itu sederhana. Tak perlu menunggu jadi kaya raya atau mengenakan mahkota raja. Semua orang bisa berbahagia saat ini juga, kalau mau.”
“Perjalanan adalah melihat rumah sendiri layaknya pengunjung yang penuh rasa ingin tahu, adalah menemukan diri sendiri dari sudut yang selalu baru, adalah menyadari bahwa Titik Nol bukan berarti berhenti di situ. Kita semua adalah kawan seperjalanan, rekan seperjuangan yang berangkat dari Titik Nol, kembali ke Titik Nol. Titik nol dan titik akhir itu ternyata adalah titik yang sama. Tiada awal, tiada akhir. Yang ada adalah lingkaran sempurna, tanpa sudut tanpa batas. Kita jauh melanglang sesungguhnya hanya untuk kembali.”