Oleh: Julianda BM
Di tengah hiruk pikuk pesta demokrasi, bayang-bayang politik uang masih membayangi. Praktik haram ini bagaikan benalu yang menggerogoti demokrasi, meredam suara rakyat, dan mengantarkan politisi bermental korup ke kursi kekuasaan.
Politik uang, sebuah penyakit kronis yang menggerogoti demokrasi Indonesia. Ibarat virus yang bermutasi, ia terus beradaptasi, mencari celah untuk menipu dan memanipulasi.
Di balik amplop berisi uang, janji-janji manis, dan sembako murah, tersembunyi agenda terselubung. Politik uang bukan sekadar transaksi jual beli suara, melainkan pertaruhan masa depan bangsa.
Dinamika politik uang bagaikan jaring laba-laba yang rumit. Di satu sisi, politisi tergiur untuk menggunakannya sebagai jalan pintas meraih kursi empuk. Di sisi lain, rakyat, terbelenggu oleh kemiskinan dan pragmatisme, tergoda oleh iming-iming recehan.
Faktor ekonomi menjadi salah satu pendorong utama. Kemiskinan dan ketergantungan pada bantuan menjadikan rakyat rentan terhadap politik uang. Politisi memanfaatkan situasi ini dengan menebar janji dan uang untuk membeli suara.
Praktik ini bukan tanpa konsekuensi. Politik uang melahirkan pemimpin yang tidak kompeten dan hanya berorientasi pada keuntungan pribadi. Korupsi merajalela, dan rakyat terabaikan. Demokrasi tereduksi menjadi ajang pertarungan uang, bukan adu gagasan dan program.
Upaya pemberantasan politik uang terus dilakukan, namun bagaikan memukul air. Aturan dan regulasi seakan tak berdaya melawan lihainya para manipulator. Bukti-bukti sulit ditemukan, dan saksi enggan melapor karena takut intimidasi.
Pengawasan dan penegakan hukum perlu diperkuat. Bawaslu dan KPU harus bersinergi dengan aparat penegak hukum untuk menindak tegas pelanggaran politik uang.
Edukasi publik juga tak kalah penting. Kesadaran masyarakat tentang bahaya politik uang harus terus digaungkan. Kampanye dan sosialisasi yang masif dan kreatif perlu dilakukan untuk membangun budaya politik yang bersih dan berintegritas.