Oleh: Julianda BM
Di balik seragam rapi dan kedigdayaan pangkat, para Abdi Sipil Negara (ASN) ternyata menyimpan rahasia nestapa. Bukan soal skandal korupsi atau pusaran intrik birokrasi, tapi tentang jerat utang yang kian mencekik leher kehidupan mereka.Â
Rumah idaman dan mobil impian menjelma menjadi monster buas yang melahap habis separuh gaji, menyisakan getir di dapur dan tatapan cemas anak-anak yang bertanya, "Ayah, kok kita nggak pernah makan enak lagi?"
Mengapa hidup sederhana, prinsip luhur yang digadang-gadang sebagai ruh pengabdian ASN, justru mengundang kecurigaan? Kenapa kemapanan, simbol kesuksesan di mata sebagian besar masyarakat, justru dicap negatif ketika menempel pada seragam kebanggaan? Inilah paradoks ASN dan kredit, kisah pilu tentang ambisi, tekanan sosial, dan realitas gaji yang tak seimbang dengan mimpi.
Mari kita mundur sejenak, mengintip ke lorong dapur para ASN muda. Gaji pokok yang tak banyak ditambah tunjangan yang fluktuatif, tak cukup untuk mewujudkan fantasi rumah mungil dengan halaman hijau.Â
Apalagi di kota-kota besar, di mana harga tanah meroket bagai roket SpaceX yang lepas kendali. Maka, kredit menjadi dewa penolong, malaikat bersayap bunga bank yang menjanjikan hunian layak dan kehidupan mapan.
Cicilan rumah, monster pertama yang menggerogoti gaji. Setiap bulan, sepertiga, bahkan separuhnya, diseret paksa oleh sang naga berkepala hipotek. Makan seadanya, baju dihemat, hiburan ditepis.Â
Anak sekolah tak lagi jajan sembarangan, diganti bekal seadanya yang kadang hambar tak berbumbu. Istri banting tulang mencari pendapatan tambahan, berjualan online atau menjahit baju. Hidup sederhana? Tentu. Tapi ini bukan kesederhanaan yang dipilih, melainkan keterpaksaan yang menyedihkan.
Belum selesai bergulat dengan naga rumah, muncullah singa mobil. Kendaraan pribadi, dulu dianggap kemewahan, kini menjelma kebutuhan. Anak sekolah butuh diantar jemput, istri bekerja mesti dijemput, apalagi jika tempat tinggal jauh dari hiruk pikuk kota. Kredit mobil, senjata ampuh melawan ketiadaan angkutan umum yang memadai, kembali menggerogoti sisa gaji yang sudah babak belur.
Dua monster, rumah dan mobil, menari-nari di atas penderitaan finansial ASN. Gaji yang diterima menciut drastis, tak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar.Â