Oleh: Julianda BM
Dalam balai emas, takdir disengketa,
Mahkota kekuasaan menari di atas derita.
Para raja boneka beradu takhta,
Membagi remah janji, menyisakan duka.
Di lorong-lorong sunyi, air mata berbisik,
Cerita kelaparan mengiringi langkah lunglai.
Tubuh kurus menggigil, mimpi kian pudar,
Di panggung drama nestapa, rakyat jadi penonton buntu.
Hujan emas tak sampai ke gubuk rumbia,
Angin keadilan tersesat di lorong gelap.
Anak-anak meratap, sekolah hanya angan,
Tangan renta meminta, dibalas tatapan dingin.
Kuasa berbisik, licik dan angkuh,
"Rakyat? Biarlah tangis mereka jadi musik pengantar".
Tangis berteriak, pilu dan nestapa,
"Keadilan! Hak hidup! Kapan jadi milik kami?".
Tapi lihatlah, bunga bakung tumbuh di sela reruntuhan,
Harapan mekar di mata anak yang lelah.
Suara protes menggeliat, bersatu dalam gelora,
Rakyat tak lagi penonton, mereka pemain utama.
Kuasa dan tangis, dua sisi cermin,
Memantulkan wajah nestapa dan tekad tak terpadam.
Perjuangan berdenyut, api keadilan menyala,
Rakyat bangkit menggenggam, taklukkan mimpi yang dicuri.
***JBM***
Subulussalam, (17/01