Oleh: Julanda BM
Pada tanggal 26 Desember 2004, dunia digegerkan dengan peristiwa tsunami yang meluluhlantakkan Aceh dan beberapa wilayah lain di Asia Tenggara. Tsunami ini disebabkan oleh gempa bumi berkekuatan 9,1 magnitudo yang terjadi di dasar laut di lepas pantai Sumatra. Gempa bumi ini menyebabkan patahan di dasar laut yang kemudian memicu gelombang tsunami setinggi puluhan meter.
Tsunami Aceh telah merenggut lebih dari 220.000 jiwa, membuat jutaan orang kehilangan tempat tinggal, dan menimbulkan kerusakan infrastruktur yang sangat besar. Peristiwa ini merupakan salah satu bencana alam paling dahsyat yang pernah terjadi dalam sejarah.
Sembilan belas tahun setelah tsunami Aceh, kita masih harus waspada terhadap potensi bencana alam yang disebabkan oleh perubahan iklim. Perubahan iklim menyebabkan kenaikan permukaan laut, yang dapat meningkatkan risiko tsunami.Â
Selain itu, perubahan iklim juga dapat menyebabkan cuaca ekstrem, seperti badai, banjir, dan kekeringan, yang juga dapat menimbulkan bencana alam.
Oleh karena itu, kita perlu melakukan langkah-langkah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mitigasi perubahan iklim. Langkah-langkah ini penting untuk melindungi kita dari bencana alam yang semakin sering terjadi.
Perubahan iklim disebabkan oleh aktivitas manusia yang melepaskan gas rumah kaca ke atmosfer. Gas rumah kaca, seperti karbon dioksida, metana, dan nitrogen oksida, menahan panas di atmosfer, sehingga menyebabkan suhu bumi meningkat.
Peningkatan suhu bumi dapat menyebabkan berbagai perubahan di lingkungan, termasuk kenaikan permukaan laut, cuaca ekstrem, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Kenaikan permukaan laut dapat meningkatkan risiko tsunami. Hal ini karena air laut yang naik dapat melampaui garis pantai dan menyebabkan gelombang tsunami.
Cuaca ekstrem, seperti badai, banjir, dan kekeringan, juga dapat menimbulkan bencana alam. Badai dapat menyebabkan kerusakan infrastruktur dan kerugian materi yang besar.Â