Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah tindak kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga, baik yang dilakukan oleh suami terhadap istri, istri terhadap suami, orang tua terhadap anak, atau anak terhadap orang tua.Â
KDRT dapat berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga.
KDRT merupakan masalah yang serius dan perlu ditangani dengan serius. Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, pada tahun 2022, terdapat 18.261 kasus KDRT yang dilaporkan, meningkat 13,8% dari tahun sebelumnya.
Kasus KDRT yang paling banyak dilaporkan adalah kekerasan fisik, yaitu sebesar 58,8%. Kasus kekerasan psikis sebesar 27,1%, kekerasan seksual sebesar 12,4%, dan penelantaran rumah tangga sebesar 1,7%.
KDRT dapat berdampak negatif yang sangat besar bagi korban, baik secara fisik, psikis, maupun sosial. Korban KDRT dapat mengalami luka fisik, trauma psikologis, dan gangguan kesehatan mental.Â
Selain itu, korban KDRT juga dapat mengalami kesulitan dalam menjalani kehidupan sosialnya.
Pertanyaannya, apakah pelaku KDRT layak untuk dimaafkan? Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban yang mudah.Â
Di satu sisi, pelaku KDRT telah melakukan tindakan yang sangat menyakiti korban. Di sisi lain, pelaku KDRT juga dapat menjadi korban dari suatu kondisi atau peristiwa tertentu.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertimbangan untuk Memaafkan Pelaku KDRT
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pertimbangan untuk memaafkan pelaku KDRT, yaitu:
Pertama, jenis KDRT yang dilakukan. KDRT yang dilakukan secara fisik dan seksual umumnya lebih sulit untuk dimaafkan daripada KDRT yang dilakukan secara psikis.