Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu momen penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemilu merupakan sarana untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat yang akan memperjuangkan aspirasi rakyat. Dalam pemilu, setiap warga negara memiliki hak untuk memilih dan dipilih.
Bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), pemilu memiliki tantangan tersendiri. ASN dilarang untuk berkampanye atau melakukan kegiatan politik praktis yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN).
Dalam rangka menjaga netralitas ASN dalam pemilu, ASN harus dapat memahami untuk tidak melakukan simbol-simbol yang dapat diterjemahkan sebagai bentuk dukungan terhadap salah satu pasangan Capres dan Cawapres.Â
Salah satunya adalah larangan untuk melakukan pose angka 1, 2, dan 3. Pose angka 1, 2, dan 3 dianggap sebagai bentuk dukungan terhadap salah satu peserta pemilu atau Pilpres.
Ada beberapa argumentasi yang mendasari larangan pose angka 1, 2, dan 3 bagi ASN di masa pemilu.Â
Pertama, pose angka 1, 2, dan 3 dapat disalahartikan sebagai bentuk dukungan terhadap salah satu peserta pemilu. Hal ini dapat memunculkan konflik di antara ASN dan masyarakat.
Kedua, ASN memiliki peran penting dalam penyelenggaraan pemilu. ASN bertugas untuk memastikan bahwa pemilu berjalan dengan lancar dan aman. Jika ASN tidak netral, maka hal ini dapat mengganggu penyelenggaraan pemilu.
Ketiga, larangan pose angka 1, 2, dan 3 merupakan bentuk komitmen pemerintah untuk menjaga netralitas ASN dalam pemilu.
Penulis sangat setuju dengan larangan pose angka 1, 2, dan 3 bagi ASN di masa pemilu. Penulis berpendapat bahwa larangan tersebut perlu untuk menjaga netralitas ASN dalam pemilu.
Pose angka 1, 2, dan 3 memang merupakan bentuk ekspresi diri yang sah. Namun, dalam konteks pemilu, pose tersebut dapat disalahartikan sebagai bentuk dukungan terhadap salah satu peserta pemilu. Hal ini dapat memunculkan konflik di antara ASN dan masyarakat.