Pernyataan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri soal dinamika politik yang melibatkan Mahkamah Konstitusi (MK) belakangan ini menjadi sorotan publik. Pernyataan Megawati yang menyinggung soal sejarah kekuasaan Orde Baru dan adanya tanda-tanda kecurangan pemilu dinilai sebagai sinyal perpisahan PDI-P dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Analisis Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) Ahmad Khoirul Umam cukup masuk akal. Megawati memang tidak secara langsung menyebut nama Jokowi atau Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi yang menjadi bakal calon wakil presiden (cawapres) Koalisi Indonesia Maju.Â
Namun, ketika Megawati menekankan soal sejarah kekuasaan Orde Baru, maka bisa disimpulkan bahwa Megawati menyinggung praktik kekuasaan Jokowi yang sentralistik.
Putusan MK yang mengabulkan uji materi syarat capres-cawapres yang membuka jalan bagi Gibran untuk maju ke panggung pilpres, memang bisa dianggap sebagai salah satu bukti praktik kekuasaan Jokowi yang sentralistik.Â
Putusan MK tersebut dinilai telah mengabaikan aspirasi rakyat yang menginginkan adanya perubahan pada aturan syarat capres-cawapres.
Pernyataan Megawati yang menyiratkan amarah dan kekecewaannya terhadap dinamika politik mutakhir, juga menunjukkan bahwa Megawati telah kehilangan kepercayaan terhadap Jokowi.Â
Megawati yang merupakan salah satu tokoh yang berjasa dalam proses reformasi, tentu merasa khawatir jika praktik kekuasaan yang sentralistik dan otoriter kembali terjadi di Indonesia.
Perpisahan PDI-P dengan Jokowi tentu akan menjadi salah satu faktor yang akan mempengaruhi dinamika politik menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.Â
Jika Megawati memutuskan untuk mendukung calon presiden lain, maka hal ini akan menjadi pukulan telak bagi Jokowi.
Namun, perlu diingat bahwa Megawati adalah sosok yang pragmatis. Megawati bisa saja kembali mendukung Jokowi jika Jokowi bersedia mengubah praktik kekuasaannya.