Di depan rumahku selalu sibuk, riuh, ramai, tak tenang. Tetangga-tetanggaku mengaku bahwa mereka adalah aktivis, hobi menyuarakan keadilan. Ayahku juga demikian. Tapi bukan kegaduhan itu yang mengusikku, justru keheningan ibu yang menyita pandangku.
Satu tahun lalu, kami berempat: ayah, ibu, aku, dan adik laki-lakiku. Ruang keluarga kami cukup hangat sebelum angin kencang menguasainya, tepat setelah kepergian Sagara, adik laki-lakiku. Angin itu terus datang menyelimuti tubuh ringkih ibu, memeluknya erat-erat, membiusnya dalam dingin yang lekat. Aku mulai muak.
Selama satu tahun ini aku memilih peran menjadi pemerhati. Kuperhatikan tamat-tamat apa yang digaungkan ayah dan para tetanggaku, tanpa ada sedikitpun niat untuk ikut bergabung. Tapi sore ini, saat kembali melihat keheningan ibu, aku mulai menemui ayah. Kusampaikan padanya, aku akan ikut bersuara.
***
Ini tentang Sagara, adikku. Ia mati begitu saja. Kata seseorang yang kami kenal baik. Aku tak terima karena ia memilih kata mati untuk menyebut kepergian Sagara.
Adik laki-lakiku tak pernah berbuat aneh. Tentu aku percaya. Sampai suatu siang, seorang anak laki-laki seusianya datang ke rumah. Ia membawa tas adikku yang sudah compang-camping tak karuan. Anak laki-laki itu ketakutan saat memberikan tas saraya mengatakan, "Sagara habis, Kak. Dikeroyok." Ibuku pingsan. Ayahku marah. Aku hanya terdiam.
Sagara meninggal saat perjalanan menuju rumah sakit. Benar, ia dikeroyok. Penyebabnya? Ia mengatai salah seorang dari anggota geng yang mengeroyoknya. Ingin sekali kujewer telinga adikku itu. Begitu mudahnya ia tersulut emosi. Tapi aku tahu aku tak akan bisa melakukannya, Sagara telah tiada.
Keluargaku memang berasal dari suku yang berbeda dari mayoritas warga yang tinggal di daerah ini. Tak sering adikku, bahkan aku juga, mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari mereka. Aku tidak sedang membela Sagara, walaupun jelas ia pasti sakit hati terus menerus dikatai teman-temannya. Tapi aku masih tidak percaya Sagara memilih untuk  membalasnya.
***
Kegaduhan di depan rumahku belum juga surut sore ini. Keheningan ibu juga tak tahu kapan akan mereda. Kuputuskan membuka pintu.