Umat Katolik baru saja merayakan Paskah, perayaan kebangkitan Yesus Kristus. Perayaan ini dirayakan di tengah bayang-bayang wabah Covid 19 yang sedang mengacaukan dunia dalam segala bidang kehidupan. Perayaan yang biasanya selama ini dirayakan dengan meriah ini, kali ini dirayakan dalam sunyi. Kesunyian terjadi  karena umat beriman tidak hadir secara fisik di gereja. Para imam merayakan sendiri di gereja; umat mengikutinya melalui media live streaming atau hanya membuat ibadat sabda. Betapa suasana yang berbeda.
Akan tetapi, saya merenungkan, Paskah kali ini memberikan kesan yang amat mendalam bagi semua umat beriman. Selain umat beriman dilanda ketakutan badai Covid 19, mereka juga dilanda kerinduan yang menggelora untuk berada di gereja merayakan Paskah. Mereka menahan rindu untuk mengambil bagian secara aktif di gereja. Mereka terutama rindu menerima Tubuh Kristus, santapan jiwa yang tergantikan.
Di pihak lain, umat beriman ditantang untuk sebisa mungkin mengambil bagian dalam perayaan besar ini di rumah masing-masing. Di pelbagai media online terutama Facebook, whatsApp, IG, saya melihat bagaimana luar biasanya kreativitas umat katolik dalam mengikuti perayaan Paskah secara live streaming.Â
Mereka menyiapkan 'altar' kecil. Di atas altar itu ada Salib dan lilin bernyala. Ada juga yang menghiasi ruangan doa dengan indah sekali. Tak hanya itu, mereka berpakaian rapi, layaknya berada di gereja. Mereka duduk menghadap TV atau media lainnya. Mereka berdoa serius. Ketika ritus komuni, mereka  hanya bisa hening, lalu mendaraskan "Doa komuni kerinduan". Setelah selesai perayaan, mereka foto bersama. Luar biasa!
Bagi saya, apa yang terjadi di atas, sangat mengagumkan. Di antara mereka memang ada yang mengakui bahwa rasanya tetap berbeda bila dibandingkan dengan mengikuti secara langsung di gereja, apalagi tanpa penerimaan Tubuh Kristus. Itulah yang membuat mereka sedih. Saya paham dengan suasana batin mereka ini.Â
Pada Paskah 2020 ini, saya menemukan hal-hal positif yang sangat sulit dilupakan sepanjang masa. Antara lain, setiap keluarga katolik semakin menyadari bahwa keluarga adalah komunitas umat beriman yang paling dasar. Bahkan Gereja Katolik menyebut keluarga sebagai Gereja mini atau Gereja Rumah Tangga (Ecclesia Domestica). Disebut demikian karena keluarga adalah komunitas iman: tempat iman diajarkan-diwartakan, ditumbuhkan, dihayati, dirasakan kekuatan-dayanya.Â
Di dalam keluargalah anak-anak belajar mengenal Tuhan, belajar berdoa, mengenal Kitab Suci dan beberapa ajaran iman mendasar. Dalam hal ini, guru utamanya adalah orang tua (ayah-ibu). Saya yakin, posisi dan panggilan keluarga sebagai Gereja Mini sungguh-sungguh dirasakan selama Pekan Suci 2020, terutama saat Perayaan Kebangkitan Tuhan (Paskah).Â
Karena itu, terlepas dari kesedihan karena tidak merayakan bersama di gereja, saya yakin wabah Covid 19 telah mendidik keluarga katolik untuk kembali pada jati dirinya sebagai Gereja Mini. Harapannya, ini tidak hanya terjadi saat Pekan Suci atau saat Paskah. Setelah ini, keluarga katolik harapannya terus menyadari betapa mulia posisinya sebagai komunitas umat beriman yang paling dasar.
Kesadaran ini hendaknya menggerakkan keluarga terutama orang tua agar  terus menghidupkan api iman: berdoa, merenungkan Kitab Suci dan tak lelah menumbuhkan iman dalam diri anak-anaknya. Saya yakin, keluarga seperti inilah yang berkenan kepada Tuhan. Karena berkenan kepada Tuhan, dengan sendirinya, mereka berkenan kepada sesama. Mereka pasti menjadi berkat bagi sesama. Iman mereka pasti berbuah dalam hidup sehari-hari.
Menurutku, keluarga seperti ini akan kokoh di tengah badai zaman ini, apapun bentuknya. Mereka tidak mudah terombang-ambingkan dengan aneka tawaran kemajuan yang berpeluang menghancurkan kehidupan walau menggiurkan. Mereka pasti bisa menyeleksi mana yang  baik dan perlu diikuti dan mana yang tidak baik dan  perlu diabaikan. Mereka juga pasti tidak mudah terlena dan tidak berhamba pada harta, pangkat, kenikmatan atau apa pun yang ada di dunia ini. Harta atau pangkat pasti dianggap sebagai sarana untuk hidup dan bukan tujuan hidup.
Keluarga seperti di atas pasti selalu memiliki waktu hening untuk berjumpa dengan Tuhan: bersyukur, memohon ampun atas segala dosa, memohon perlindungan-berkat atau sekadar menenangkan hati bersama Tuhan. Saya berani menyimpulkan bahwa keluarga seperti ini pasti diliputi kegembiraan dalam hidupnya.Â