Mohon tunggu...
Yosef Lorensius S
Yosef Lorensius S Mohon Tunggu... -

seorang anggota grup "OEMAR BAKRIE" yang hidup di era milenium. Setia mendampingi generasi muda untuk menjadi pribadi yang utuh. bagiku, pendidikan adalah nyawa pribadi dan nyawa bangsa. HIDUP GURU...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ya Sudah, Kita Mengajar Tidak Perlu Mendidik

25 Maret 2010   01:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:13 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ini pembicaraan hangat kami pagi ini. Sekelompok guru yang sedang tidak mengajar, selesai sarapan, tanpa ditemani kopi sedang membahas masalah tentang siswa.

Kejadian awalnya itu seperti ini. Seorang teman guru mendapat komplain dari orang tua murid yang nilainya rendah, untuk salah satu mata pelajaran. Prosedur komplain juga gak kurang kami sukai, karena langsung kepada kepala sekolah. Tapi, bukan kami tidak mau dikritik atau tidak menerima masukan, tapi mari kita melihat masalah ini dengan jernih.

Seperti kebiasaan pada umumnya, sebelum ulangan, guru-guru memberikan latihan kepada anak-anak. Setelah itu dikerjakan, lalu dibahas bersama. Setelah selesai dibahas, guru bertanya "masih ada yang belum dimengerti, anak-anak?". Pasti kompak akan menjawab "tidak".

Lalu, materi tersebut dijadikan bahan ulangan. Anak kesulitan mengerjakan, dapat nilai yang jelek, melapor ke orang tua, dan orang tua komplain ke kepala sekolah. Alur yang menurut kami agak janggal. Bagaimana kalau kami tawarkan, setelah mendapat nilai jelek, siswa langsung komplain ke guru yang bersangkutan. Takut dimarahi? Itu mungkin terjadi, Kita tawarkan alternatif lain. Setelah menerima nilai yang jelek, lapor ke orang tua, orang tua menemui wali kelas untuk dipertemukan dengan guru yang bersangkutan. Ini bagi kami adalah solusi yang paling baik dan bijaksana.

Kebiasaan komplain langsung ke atasan adalah tren di Indonesia. Saat kita kurang dilayani dengan baik di restoran, kita langsung spontan berkata "mana bos/manajer Anda? saya mau komplain mengenai pelayanan Anda!". Pernahkah kita berpikir bahwa lebih efektif kalau kita sampaikan komplain kita langsung kepada pelayan tersebut, tentu dengan bahasa yang baik. Lalu, apa persoalannya kalau kita melapor langsung ke atasannya? Kita sama saja menjual atau mempertaruhkan kariernya. Dan kita pun senang kalau pelayan itu dimarahi atasannya di depan muka kita.

Apakah sekolah kita samakan dengan restoran? Saya pribadi katakan TIDAK. Keadaan yang tentu berbeda. Di sekoah, hal yang paling penting adalah PEMBELAJARAN. Pembelajaran adalah proses belajara secara terus menerus. Anak kita dorong untuk belajar, mengenai pengetahuan, live skill, memahami hidup dan cara yang paling tepat adalah MENDIDIK, bukan MENGAJAR.

Nah, persoalan ini yang perlu kita luruskan. Sebagian besar guru menyadari bahwa tugas mereka adalah mendidik. Mendidik adalah memberi sesuatu yang berdampak positif, baik berupa latihan akhlak maupun kecerdasan pikiran. Sedangkan mengajar adalah memberi pelajaran; melatih;memarahi (memukuli, dan sebagainya) supaya jera. Nah, dari sini kita bisa melihat perbedaan yang jelas dari kedua hal di atas.

Lalu, mengapa kami bernada putus asa? Proses belajar-mengajar di sekolah melibatkan banyak komponen. Yang saya jelaskan dalam tulisan ini adalah komponen sekolah (institusi), guru, siswa, dan orang tua. Nah, salah satu yang menghambat terjadinya proses mendidik itu adalah orang tua yang kurang kooperatif. Orang tua seharusnya berposisi sebagai pendukung, pemantau, dan partner bagi guru dalam mendidik anaknya. Namun, kadang hal ini tidak disadari oleh orang tua. Pertama, mereka menganggap bahwa dengan membayar uang sekolah mereka juga sudah termasuk membeli fasilitas, sekaligus "membeli" guru yang mendidik siswanya. Kedua, mereka hanya datang pada saat dipanggil karena anaknya bermasalah  walapun tetap diberi catatan, bahwa kadang kalau dipanggil mereka tetap tidak datang ke sekolah. Ketiga, mereka terkesan menganggap bahwa masalah prestasi adalah tanggung jawab guru (baca:institusi sekolah), tanpa merasa berpartisipasi dalam prestasi tersebut.

Nah, atas dasar tersebut guru merasa berjalan sendirian. Guru merasa bahwa tuntutan yang diberikan kepada mereka terlalu berat. Kalau toh ada usaha mendidik, yang di dalamnya terdapat sanksi (berupa nilai yang jelek, atau hukuman karena melakukan kesalahan) orang tua kadang tidak bisa menerima hal itu. Jadi, guru kemudia berpikir, mari kita mengajar saja. Masuk kelas, beri materi, beri ulangan, beri nilai, terima rapor lalu selesai. kalau bisa nilainya kita katrol supaya orang tua senang.

Lalu, apakah seperti yang namanya sekolah yang merupakan institusi pendidikan dan di dalamnya terjadi proses mendidik? Mari, kita ajak seluruh komponen pendidikan untuk bekerja sama. Orang tua harus menjadi partner yang setia bagi guru untuk terus memonitor perkembangan pendidikan/pembelajaran anaknya. Saat ini, saya melihat bahwa keterbukaan ini mulai ada dan tetap harus ditingkatkan. Segala hal yang terjadi seperti di atas menjadi pembelajaran bersama semua pihak untuk kemajuan pendidikan di Indonesia lebih khusunya anak didik kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun