Mohon tunggu...
Lora Muda
Lora Muda Mohon Tunggu... -

Aku siswa SMA N 6 yang ingin menyalurkan perasaanku kedalam tulisan dan memiliki sejuta pengalaman.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hapuslah Air Matamu

29 November 2013   15:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:31 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku adalah seorang pria yang terlahir dari bapa dan mama di sebuah kampung kecil bernama Lewotobi yang teletak di sebuah pulau kecil, bernama Flores. Bapaku seorang nelayan dan petani, sedang mamaku seorang ibu rumah tangga.

Bapaku adalah seorang pekerja keras. Saat musim ikan, bapa pergi ke laut untuk menangkap ikan, kemudian ikan hasil tangkapannya ia berikan kepada mama untuk dimasak. Setiap pagi, bapa pergi melaut dan menangkap ikan untuk sarapan anak-anaknya sebelum pergi sekolah, Suatu kali bapa sedang berburu paus merah, tombaknya menikam tepat di punggung paus itu. Seperti cara menangkap ikan pada umumnya, bapa membiarkan paus itu menarik perahunya hingga jauh ke tengah laut. Hingga dilihatnya lampu pemancar Negara Australia, akhirnya ia putuskan tali yang terikat pada tombak di punggung paus itu. Berhari-hari bapa tidak pulang, hingga akhirnya mama meminta tolong kepada tetangga untuk mencari bapa di laut lepas sana. Dan akhirnya bapa berhasil ditemukan dengan membawa ikan-ikan kecil yang lain.

Ketika ombak laut besar, bapa beralih pada kebun dan ternaknya. Hektaran kebun miliknya, ia garap sendiri. Putri malu berduri dan ilalang ia siangi setiap hari. Setiap peluh yang menetes dari tubuhnya, membasahi lahan yang luas itu dan menjadikannya subur. Hasil panennya ia berikan kepada keluarga kami, supaya kami dapat tetap makan.

Jiwa sosial bapa juga amat besar. Suatu ketika, suami saudari bapa meninggal. Sebagai saudara laki-laki, bapa merasa bertanggung jawab atas kelangsungan hidup keluarga itu. Bapa bekerja semakin keras, supaya kami anaknya dan keponakannya dapat tetap hidup dan dapat makan. Sampai-sampai bapa menjual kebun miliknya, dan memberikan hasilnya kepada mereka. Bapa juga mendidik mereka hingga mereka dapat bekerja sendiri. Kakak Jao, anak kedua dari keluarga itu, ia didik menjadi seorang petani dan nelayan yang gigih, sementara kakaknya, bapa masukkan sebagai pegawai negeri.

Yah, itu kisah yang selalu mama ceritakan kepadaku sebelum bapa menghembuskan nafas terakhirnya. Saat bapa sakit, karena ia bekerja terlalu keras, ia dibawa ke dukun untuk melakukan pengobatan, karena waktu itu belum ada dokter medis. Tetapi apa penyakit yang bapa derita tidak dapat diketahui, hingga akhirnya pada bulan Oktober 1958 bapa meninggal dunia dan pergi meninggalkan kami untuk selamanya. Ketika itu, kami masih kecil. Kakak tertuaku, Lena masih duduk di bangku kelas lima sekolah dasar, kakak keduaku, Hendrika masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar, kak Agus masih duduk dibangku kelas dua sekolah dasar, kak Siska masih kecil, dan aku baru berumur sebelas bulan. Karena usiaku masih sangat kecil, aku tidak bisa mengingat bagaimana suasana duka yang menyelubungi keluarga kami. Dan aku pun belum dapat mengenali sosok seorang ayah di dalam hidupku.

Sejak saat itu, hidup keluargaku berubah. Mama yang tadinya dimanja bapa, dan tidak pernah bekerja keras, mau tidak mau harus bekerja kebun untuk membiayai hidup kami. Minggu pertama mama mengerjakan kebun, tangan mama hancur dan menjadi sangat kasar. Ketika hendak mencabut rumput, mama harus membalut seluruh tangannya dengan kain supaya luka di tangannya tidak bertambah parah. Dan setiap hari mama harus bekerja kebun di bawah teriknya mentari. Mama dibantu kakakku Lena, yang saat itu masih duduk di bangku kelas lima sekolah dasar dan harus melepaskan pendidikannya.

Sejak saat itu pula, setelah bapa meninggal, keluarga kami selalu dibantu oleh kakak Jao. Dia adalah orang pertama yang bertindak membantu kami. Karena menurutnya, bapa telah membesarkan dan merawat keluarganya. Sehingga kakak Jao hendak merawat dan membesarkan kami.

Kakak Jao membantu mama mengurus kebun. Ia membuka lahan baru, mencangkul tanah kemudian menanam pohon di lahan itu. Ia mengambil air dari sumber air yang letaknya sangat jauh dari kebun, karena air tanah di lingkungan kami asin. Dan menyiangi rumput liar dan putri malu yang tumbuh di kebun. Sementara adik kakak Jao, kakak Tena membantu kami merawat tanaman dan pohon kelapa yang ada di sekitar rumah kami.

Kakak Jao dan kakak Tena memberikan kami kasih sayang dan perhatian yang begitu besar pada kami, sehingga aku dapat merasakan kehangatan dan sosok seorang ayah. Ketika tahun ajaran baru akan dimulai, dan tiba saatnya bagi kak Hendrika dan kak Agus untuk melanjutkan sekolah, mama harus menghantar mereka. Waktu itu, sekolah dasar terdekat letaknya sangat jauh dari rumah dan tidak ada kendaraan yang dapat kami tumpangi, sehingga mama beserta kedua kakakku harus berjalan kaki berhari-hari dan berkilo-kilo meter jauhnya. Karena aku dan kak Siska masih terlalu kecil, kami tetap tinggal di rumah. Dan waktu itu kakak Tena-lah yang menjaga dan menemani kami selagi mama pergi. Ketika kami lapar, kakak Tena yang memasak makanan untuk kami, dan di siang hari kakak Tena kembali melakukan pekerjaannya, merawat pohon kelapa milik kami.

Kehidupan kami saat itu sangatlah sulit. Ketika musim penghujan dan angin besar tiba, kebun milik mama mengalami gagal panen. Dan semua makana di seluruh kampung menjadi langka. Semua hasil jerih payah dan pengorbanan mama luntur bersamaan dengan rusaknya hasil panen milik mama. Dan mama harus memulai semuanya kembali dari awal, mulai menyiangi rumput liar dan putri malu, mencangkul lahan, menanam bibit baru, dan merawatnya hingga berbuah dan memberikan hasil terbaik.

Aku sadar, sepeninggal bapa mama menjadi sangat menderita. Setiap malam mama selalu menangis dan meratap. Aku mendengarnya, ya, dan aku juga larut dalam tangisan itu. Setiap peringatan hari arwah, tanggal dua November, mama selalu mengunjungi makam bapa. Mama membakar lilin, kemudian berdoa untuk bapa, dan mama mulai menangis dan meratap. Aku tahu, tanggung jawab sebagai seorang ibu sekaligus seorang ayah bukanlah hal yang mudah. Tapi apa yang dapat aku perbuat, apa yang dapat dilakukan oleh seorang anak kecil. Aku hanya bisa ikut menangis melihat penderitaan mama.

Aku dapat melihat mama terhibur ketika kak Agus pulang untuk berlibur. Seakan beban yang mama panggul telah menguap. Senyuman bahagia terukir di wajahnya. Dan jiwa yang lelah itu kembali menjadi jiwa yang penuh semangat untuk terus merawat dan mencintai kami. Ketika tiba saatnya bagi kak Agus untuk kembali melanjutkan pendidikannya, mama kembali bersedih. Tak ingin ia berpisah dengan anaknya. Tapi, mama tetap dan selalu memberi semangat kepada kami agar kami dapat menjadi orang sukses.

Sembilan tahun berlalu sejak bapa menghembuskan nafas terakhirnya. Sembilan tahun pula kakak Jao dan kakak Tena telah membantu kami, merawat kami, dan membesarkan kami. Hingga akhirnya, kakakku Lena menikah dengan seorang pria dari pulau seberang. Sejak saat itu hidup kami berubah, kerena kakak Jao dan kakak Tena tidak lagi mengerjakan kebun bersama kami, tetapi suami kak Lena lah yang membantu mama membuka kebun dan merawatnya. Tetapi pada kenyataannya, mama dan dibantu kakakku Siska masih harus bekerja keras untuk membiayai hidup kami.

Suatu ketika, saat waktu memberiku kesempatan untuk berbagi cerita dengan mama, mama kembali mengulang kisah ketika bapa masih berjuang untuk kami. Aku mulai berpikir, betapa bahagianya mama saat itu. Mama memiliki bapa yang begitu mencintainya. Mama tak perlu bekerja sekeras ini untuk membiayai hidup kami. Dan mama memiliki bahu untuk bersandar barang melepas lelah dan duka. Tetapi kusadari, kini mama hanya seorang diri dan harus berlaku sebagai seorang ibu dan ayah sekaligus. Tak dapat kubayangkan, beban yang begitu besar harus mama panggul sendiri. Dan hatiku mulai bertanya-tanya, jikalau mama menikah lagi, apakah mama dapat bahagia lagi seperti dahulu, seperti saat bapa masih mendampingi mama.

“Ma, kenapa mama tidak menikah lagi?” tanyaku pada mama. “Jikalau mama menikah lagi, mama akan memutuskan cinta mama kepada bapa. Begitu pula sebaliknya, cinta bapa kepada mama.” jawab mama.

Singkat saja, namun jawaban mama membuatku tersentak dari pikiran dangkal yang hanya memikirkan kenyamanan duniawi. Aku sadar, bahwa cinta bapa dan mama itulah yang menguatkan kami hingga saat ini. Bahkan di waktu-waktu yang sulit, mama selalu meyakini bahwa bapa tetap dan selalu ada untuk menjaga dan menolong kami. Dan cinta itulah yang menguatkan mama untuk tetap berjuang bersama kami.

Seiring berjalannya waktu, aku dan keempat saudaraku bertumbuh besar dan semakin dewasa. Tiba saatnya bagiku untuk melanjutkan pendidikan di jenjang yang lebih tinggi. Selepas sekolah menengah atas, aku memutuskan untuk mengenyang pendidikan di perguruan tinggi. Aku berniat merantau di Pulau Jawa. Dan sebelum keberangkatanku, mama memberiku kalimat yang membuat aku memiliki pandangan yang berbeda.

“Kamu harus bersyukur, bahwa bapamu telah dipanggil Tuhan, walaupun waktu itu usiamu masih sangat kecil. Kalau bapamu masih hidup, tidak mungkin kamu dapat bersekolah setinggi ini, karena ia akan mendidikmu menjadi seorang nelayan dan petani.”

Benar juga apa yang dikatakan mama, kalau bapa masih hidup tidak mungkin aku menjadi seorang terpelajar. Kakak Jao juga mengatakan hal yang sama kepadaku. Dan mulai saat itu aku bertekad untuk menjadi orang sukses dan dapat membahagiakan mama. Aku akan membayar semua pengorbanan yang telah mama berikan untukku.

Empat tahun lamanya aku mengenyang pendidikan Sastra Inggris di salah satu perguruan tinggi di Kota Yogyakarta. Aku berhasil menamatkan pendidikanku dan mendapat gelar sarjana. Di Kota Yogyakarta pula, aku berjumpa dengan kekasihku. Setamat pendidikanku, aku pergi melamar kekasihku itu seorang diri di Pulau Sumatera, di tempat tinggal kedua orang tuanya.Kemudian aku kembali ke kampung halamanku dan meminta restu mama, kemudian aku kembali ke Sumatera untuk melangsungkan pernikahanku dengan kekasihku.

Beberapa bulan setelah kami menikah, aku kembali ke Yogyakarta untuk bekerja. Setiap aku menerima gaji, sebagian dari gajiku aku kirim untuk mama. Dan ketika kami mendapat rejeki lebih, istriku membeli baju batik dan kebaya untuk mama. Tetapi mama selalu hemat dan hampir tidak pernah menggunakan uang yang aku kirim untuknya. Ketika aku pulang ke rumah mama, mama mengambil uang dari lemarinya, uang yang aku kirim untuknya, ia memberikannya lagi kepadaku barang untuk membeli rokok.

Aku melanjutkan hidupku di Pulau Jawa bersama istri dan anakku. Aku juga menyekolahkan salah satu keponakanku, dengan harapan keluargaku dapat lebih memerhatikan mama. Kira-kira 6 tahun setelah aku menikah, mama menutup usianya. Setelah mendengar berita kepergian mama, aku bergegas kembali ke kampung. Menurut cerita para tetangga, hingga akhir hayatnya, mama masih bekerja keras dan menderita. Aku tersentak mendengar kenyataan itu, aku marah, karena ternyata saudara-saudariku tidak benar-benar memerhatikan dan merawat mama. Tetapi tetanggaku yang bernama Willy lah yang merawat mama dan selalu menyuapi mama. Ketika pemakaman mama pun, pakaian milik mama yang dibawakan di dalam peti adalah pakaian-pakaian baru pemberian istriku.

Mama dimakamkan di sebelah kanan makam bapa. Setelah prosesi pemakaman mama selesai, aku berniat untuk melupakan amarahku dan memulai kehidupan yang lebih harmonis bersama saudara-saudariku. Karena aku yakin bahwa mama tidak akan berkenan melihat kami berkelahi.

Sepuluh tahun telah berlalu setelah kepergian mama. Aku tidak lagi mengungkit amarah yang aku rasakan saat hari pemakaman mama. Aku berusaha memendamnya dalam-dalam. Kini aku beserta saudara-saudariku dapat hidup lebih harmonis. Aku percaya bahwa kasih bapa dan mama lah yang telah memersatukan kami. Dan hingga saat ini bapa dan mama selalu menyertai kami, bahkan istri dan anak-anakku juga dapat merasakan kehadiran dan penyertaan bapa mama di tengah kami.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun