[caption caption="atas: Rumi, Lora. bawah: Agoes, Nicko dan Lita"][/caption]Perjalanan di Flores kami mulai hari ini tanggal 23 Juni 2016 pada pukul 7.30 am Wita. Dengan menyewa mobil panther kami menyusuri jalan ke arah Manggarai Barat menuju Cunca Rami yg merupakan salah satu destinasi wisata air terjun di Flores. Jalanan yg berkelok, dengan tikungan tajam dan patah membuat teman2 kami yg duduk di belakang merasa mual yg hampir mengeluarkan isi perut mereka. Namun rasa itu dpt disingkirkan dengan indahnya alam yg terbentang disisi kanan kiri jalan, kami dapat melihat hamparan pulau2 di tengah laut Flores yg membentang begitu luas.
Setelah menempuh perjalanan -/+ 2 jam kami pun memasuki area Cunca Rami dengan jalan yg berbatu dan kadang2 menurun. Akhirnya kami pun tiba dan disambut dengan anak-anak warga asli flores. Mereka bermaksud untuk menjadi tour guide kami menuju air terjun tsb. Karena kami para perempuan harus buang air kecil akhirnya kami pun meminta salah satu dr anak2 tsb untuk membawa kami ke rmh mrk.Â
Atik namanya seorang gadis yg masih duduk di bangku SMP membawa kami ke rumah tantenya, kami pun dikenakan tarif 5000/org untuk buang air kecil. Saat kami sedang menunggu tante atik pun menawari kami untuk sekedar makan dan minum...uupps tunggu dulu tentunya semua tidak gratis. Kalau untuk buang air kecil saja harus bayar apalagi makan/minum. 15rb/kepala dengan menu nasi, telor dan mie sebagai sayurnya. Si ibu meminta kami tuk membayar dimuka agar beliau dapat membeli bahan makanan tersebut, namun kami tidak dapat mengambil keputusan sepihak karena kami harus menanyakan kepada 2 jagoan yang mengawal perjalanan ini.
Atik pun membawa kami kembali ke tempat awal dimana kami parkirkan mobil kami. Saat tiba disana ada seorang bapak yg akhirnya terpilih menjadi tour guide kami, sengaja kami pilih diantara para adik-adik kecil yg telah dari awal mengikuti kami. Beberapa dari kami pun memberi mereka sekedarnya agar mereka tidak kecewa. Sebelum memulai trekking kami pun menyampaikan percakapan kami dengan si ibu dan para laki-laki itu pun setuju, kemudian kami sampaikan pesan kami ke si ibu melalui Atik dengan menu dan harga yang saya sebutkan diatas.
Perjalanan pun dimulai, jalan yang menurun, menanjak, berbatu, pasir dan licin yang harus kami lalui. Sang bapak pun membekali perjalanan kami para perempuan dengan tongkat dahan pohon yang ditebang dengan pisau tajam yang beliau bawa, para laki-laki menolak karena mereka tidak mau merusak alam. Saya dan Rumi berjalan dibelakang si bapak sambil kami bertanya tentang kehidupan masyarakat setempat yg sebagian besar mata pencahariannya adalah petani. Masyarakat disini dapat menikmati listrik dengan memanfaatkan tenaga surya, namun mereka harus rela gelap-gelapan tatkala musim penghujan tiba yang entah untuj berapa lama. Sang bapak terlihat tua dimana secara kasat mata usianya sudah mencapai 50th namun ketika kami bertanya beliau baru berusia 33th. Kehidupan membuat mereka terlihat lebih dewasa dari usia seharusnya.
Dari kejauhan sang bapak memberitahukan bahwa kami sudah hampir tiba, kami dapat mendengar suara air yang jatuh. Di salah satu sudut sebelum kami melewati areal persawahan kami dapat melihat megahnya air terjun yang akan kami tuju. Disini kami melihat ada turis asing yang memiliki tujuan yang sama, dia berjalan dengan tour guidenya mendahului kami yang sedang asyik mengabadikan setiap moment perjalanan kami.
Dalam perjalanan melalui persawahan saya bertanya kepada si bapak apakah selama mereka menjadi tour guide pernah melihat atau bertemu dengan ular? Beliau menjawab tidak pernah. Aman jawab dalam bathin saya, karena itulah yang saya takutkan ketika bertemu dengan hewan melata yang mematikan itu.
Setelah berjalan hampir 30 menit kami pun disuguhi indahnya air terjun Cunca Rami dengan kolam yang begitu luas dengan kedalaman 8m, disini kami dapat melihat pelangi yang begitu indah dihamparan air yg berjatuhan. Kami pun masing-masing mengabadikan moment ini dengan berfoto hampir disetiap spot yang ada. Tak lama kami tiba rombongan lain selain turis asing tadi memberi keramaian di area air terjun dimana sebagian dr mereka terjun ke kolam tempat jatuhnya air seraya menemani teman kami Lita yang sudah lebih dulu berenang dan bermain air di kolam tersebut.
Setelah puas memanjakan diri dengan menikmati keindahan dan kemegahan karya Tuhan kami pun beranjak pulang meninggalkan jejak kami disana. Perjalanan pulang pun dimulai tatkala kami melewati areal persawahan kami masih bersemangat namun jalan yang kami lalui setelahnya membuat nafas kami berkejar-kejaran dan memaksa kami untuk berhenti berkali-kali karena jalan mendaki yang sangat melelahkan.Â
Dalam perjalanan pulang ini tak sengaja saya melihat si bapak mengeluarkan pisaunya yang tajam seraya menebas putus leher binatang melata yang saya takutkan. Benar saja ketika saya bertanya ternyata itu adalah ular hijau yang mematikan. Saya pun terus berdoa agar kami semua selamat  sampai atas. Pendakian semakin berat karena kami pun sudah sangat lelah, saya hampir tak sanggup melanjutkan perjalanan ini karena mata saya mulai berkunang-kunang.Â
Agoes meminta saya untuk memberikan tas ransel saya untuk dia sandangkan dibagian depan tubuhnya karena dia jg membawakan tas ransel Lita yang besar. Dia memaksa saya dan akhirnya saya pun menyerah dan memberikan tas ransel yang sebenarnya tidak terlalu berat untuk dia bawa. Agak ringan memang namun tetap kami harus berhenti untuk sesekali mengatur ritme jantung kami. Si bapak terus menyemangati kami dengan memberikan harapan kalau kami sudah hampir sampai ke atas.