Mohon tunggu...
Fransiskus Bani
Fransiskus Bani Mohon Tunggu... -

Online

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Damai Bagimu

9 Mei 2010   06:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:19 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Renungan Minggu Paskah VI Kis 15,1-2.22-29; Why 21,10-14.22-23;Yoh 14,23-29 Oleh: Rm. Victor Bani, SVD „Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu …“ Kata-kata Yesus dalam bacaan Injil pada hari Minggu Paskah VI ini sungguh-sungguh memberikan peneguhan dan pengharapan, ketika kita mengalami berbagai kesulitan dalam kehidupan kita sehari-hari. „Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu …“ Akan tetapi kalau kita melihat kembali realitas hidup kita, apa yang kita alami setiap hari, wajar kalau kita bertanya: apa benar bahwa Yesus sungguh-sungguh telah memberikan damai-Nya kepada kita? Ketika kita mendengar dan melihat berbagai peristiwa menyedihkan yang terjadi diberbagai belahan dunia, entah itu bencana alam: kelaparan, kekeringan, badai, banjir, angin ribut, tsunami, tanah longsor, dan gempa bumi, maupun peperangan yang berkepanjangan, pembunuhan yang tidak berkesudahan, pertikaian dan perselisihan, kekerasan dalam masyarakat dan rumah tangga, berbagai kecelakaan di darat, laut dan udara, dan ketika kita mengalami sendiri berbagai kesulitan itu dalam hidup kita, baik itu dalam masyarakat maupun dalam keluarga kita, masuk akal kalau kita bertanya: dimana damai sejahtera yang telah diberikan Yesus kepada kita? Ketika kita mempertanyakan „dimana damai sejahtera yang dijanjikan Yesus kepada kita“, pertama-tama perlu kita ketahui dan sadari, bahwa damai yang Ia berikan, tidaklah seperti damai yang diberikan dunia kepada kita. Damai yang Ia berikan bukan berarti: tidak ada peperangan, tidak ada pembunuhan, tidak ada kekerasan, tidak ada perselisihan dan pertengkaran, tidak ada bencana, tidak ada malapetaka. Bukan, bukan itu yang dimaksudkan. Damai yang dimaksudkan dan dijanjikan oleh Yesus lebih dalam daripada itu. Damai yang diberikan oleh Yesus adalah ketenangan hati, kedewasaan iman dan keterbukaan pikiran kita untuk melihat dan menerima semua yang kita alami dalam kehidupan kita sehari-hari dengan kaca mata iman. Maaf dan pengampunan sebagai jawaban terhadap kekerasan dan kemurkaan, dialog dan saling pengertian sebagai jawaban terhadap peperangan dan penindasan. Kebencian dan iri hati janganlah dilawan dengan dendam dan murka, melainkan hadapilah dengan cinta kasih dan perhatian. Bencana dan malapetaka jangan dilihat sebagai murka dan hukuman dari Allah, melainkan sebagai peringatan atas dosa dan kesalahan kita. Ini adalah damai sesungguhnya yang dimaksudkan Yesus, yang telah diberikannya kepada kita. Dalam suatu kerusuhan beberapa tahun yang lalu, ketika sebuah supermarket di jalan Cikini dijebol dan dijarah beramai-ramai oleh massa, ada seorang bapa, seorang pedagang kaki lima, yang hanya melihat peristiwa itu dari kejauhan bersama kedua anaknya. Ketika orang bertanya kepadanya: mengapa dia hanya bengong saja melihat tetapi tidak menggunakan kesempatan untuk turut menjarah supermarket itu bersama anaknya, dengan tenang ia menjawab: „Hidup kami memang susah, tetapi untuk mengambil barang orang lain, itu tidak akan pernah kami lakukan. Itu bukan saja diharamkan oleh agama, tetapi terlebih oleh Tuhan. Apalagi sebagai pedagang kecil-kecilan kaki lima. Saya bisa merasakan bagaimana sakitnya hati ini, kalau dagangan saya diambil dan dirampas orang. Tidak, saya tidak akan mengambil barang orang. Dan saya melarang anak-anak saya untuk mengambil milik orang lain“. Damai Yesus akan tinggal dalam hati dan hidup kita, bila kita hidup lurus, bersih, baik dan benar, bukan saja dihadapan Tuhan dan sesama, tetapi juga dengan diri kita sendiri dan lingkungan hidup kita. Si bapa, pedagang kaki lima itu, telah menunjukkan kepada kita, bagaimana seharusnya kita hidup lurus dan murni dihadapan Tuhan dan sesama. Tidak susah untuk mempraktekkan itu, asal kita mau berusaha melakukannya, mencobanya dari hari ke hari. Amin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun