Sudah sejak dulu rasanya Subang diasosiasikan dengan sebutan yang kurang baik. Bahkan saya yakin banyak orang Indonesia yang belum tahu Subang sebagai salahsatu kabupaten di Jawa Barat. Subang disebut sebagai akronim dari kata ‘susah berkembang’. Sungguh menggambarkan rasa psimisme, keputusasaan dan terasa getir tak ada harapan.
Celakanya, ungkapan itu terkesan diperkuat dengan kondisi Subang sebenarnya; jalanan rusak, pembangunan lambat dan tidak terkesan sebagai sebuah kota. Tak ada mall, bioskop, taman kota yang luas, stadion megah, gedung kesenian, perguruan tinggi lengkap atau hotel megah, apalagi gedung bertingkat dengan kerlap-kerlip lampu.
Wajar saja anak muda lebih memilih malam mingguan pergi ke Bandung, karena jaraknya tak jauh beda dari kota Subang ke Patokbeusi atau Cipunagara. Hanya perjalanan satu jam lebih sedikit. Karena kondisi kemirisan itu, banyak orang Subang yang tidak bangga mengaku orang Subang. Saat kerja atau kuliah di luar kota.
Sudah saatnya stigma negatif itu diakhiri. Bagaimana caranya lulusan SMA banyak yang memilih kuliah di Subang karena perguruan tingginya bagus. Senang menghabiskan hari-hari di Subang karena kotanya yang bersih dan indah. Para pengusaha memilih menginap di Kota Subang karena banyak fasilitas mall, hotel atau aneka sarana penunjang lainnya lengkap. Tidak lewat begitu saja ke Bandung atau Jakarta.
Bagaimana caranya agar anak muda Subang mudah bekerja dan betah di Subang. Lebih jauh lagi, mereka mau berkiprah membangun Subang. Sebab hal ini masih kurang. Indikatornya jelas, sangat sedikit lulusan SMA yang mau kuliah di Subang. Dari sekitar 22 ribu lulusan SMA yang diterima perguruan tinggi lokal, jika digabungkan tidak mencapai 5.000 mahasiswa baru.
Tapi saya meyakini, stempel negatif tentang Subang itu akan segera berakhir. Sebab kini Subang menjadi incaran investor asing dan lokal. Subang menjadi salahsatu sudut segitiga emas, dua sudut emas lainnya yaitu Sumedang dan Majalengka.
Sebab di Subang, Sumedang dan Majalengka dibangun megaproyek nasional bernilai triliunan. Pemerintah Pusat menetapkan di Subang dibangun pelabuhan petikemas berskala internasional di pantai Patimban, Kecamatan Pusakajaya. Kini tengah dalam tahapan pembangunan. Sementara di Sumedang, pemerintah pusat membangun Waduk Jatigede yang sudah dipersiapkan sejak 40 tahun lalu.
Sedangkan di Majalengka pemerintah memutuskan membangun bandara internasional Kertajati. Akses daratnya pun dipersiapkan dengan membangun jalan tol Cisumdawu yang akan menyambungkan daerah Cileunyi-Sumedang-Dawuan atau Jalan Tol Padaleunyi dengan Jalan Tol Palimanan-Kanci. Lengkaplah sudah jika para investor berinvestasi di tiga wilayah tersebut. Akses darat bisa melalui tol. Dari Bandung melalui tol Cisumdawu dan dari Jakarta melalui tol Cikopo-Palimaman yang membelah Kabupaten Subang. Bisa juga melalui kereta api ke Stasiun Pagaden, Subang. Sedangkan melalui udara bisa melalui bandara internasional Kertajati, Majalengka.
Sedangkan barang bisa dikirim juga melalui laut melalui Pelabuhan Patimban, Subang. Sudah dapat dibayangkan para investor membidik tiga daerah tersebut. Dalam diskusi Forum Inisiatif Rakyat Subang (FIRS) akhir 2013 lalu, menyebutnya sebagai daerah segitiga emas.
Dari sisi pendidikan, Subang pun kebagian ‘jatah’ perguruan tinggi negeri yaitu dengan didirikannya Politeknik Negeri yang akan dibangun di arela lahan 40 ha daerah Kecamatan Cibogo. Tak jauh dari situ, Pemkab Subang pun menyediakan lahan 30 ha untuk pengembangan Universitas Subang (Unsub).
Tahal awal, bekerjasama dengan Universitas Padjadjaran (Unpad). Pada 2 April lalu sudah disetujui oleh Gubernur Jabar Ahmad Heryawan. Bersamaan dengan penegerian empat perguruan tinggi lainnya di Jawa Barat yaitu Unsika Karawang, Unswagati Cirebon, IPB luar domisili di Sukabumi dan Unsil Tasikmalaya.
Menyambut semua rencana pembangunan itu, Pemkab Subang mulai menunjukkan upaya serius membangun. Menyediakan anggaran pembangunan infrastruktur sekitar Rp170 miliar. Walau dirasa masih kurang, tapi sudah melompat tiga kali lipat dari sebelumnya yang hanya Rp60 miliar. Ditargetkan dalam waktu tiga tahun mulai terlihat perubahan. Gubernur Ahmad Heryawan pun dalam kesempatan acara di Subang berjanji memperbaiki jalan provinsi yang rusak di Subang.
Semangat pembangunan itu dirangkum dalam program Gerakan Pembangunan untuk Rakyat (Gapura). Setiap saat didengungkan oleh Bupati Ojang Sohandi. Secara teknis pembangunan fisik dilaksanakan oleh Dinas Tata Ruang Pemukiman dan Kebersihan (Tarkimsih) dan Dinas Bina Marga dan Pengairan (BMP).
Menurut Kepala Dinas Tarkimsih, Sumasna pembangunan megaproyek itu sudah lama dikaji antara Pemkab Subang dan Pemerintah Pusat. Mulai dari pembangunan pelabuhan, jalan tol dan perguruan tinggi. Ia menyebutkan, selain pembangunan dan penataan kota Subang, didorong pula pembangunan daerah penyangga kota yaitu Cibogo, Pagaden dan Kalijati.
“Di Cobogo nanti dibangun juga bendungan Sadawarna, lembaga pendidikan Politeknik Negeri dan Unpad tak jauh dari PT Dahana, sedangkan di Pagaden kita akan kembangkan Stasiun Pagaden dan dulu Kalijati itu rencananya kita usulkan untuk bandara internasional. Tapi bergeser ke Kertajati Majalengka,” kata Kepala Dinas Tarkimsih, Sumasna.
Jadi, bagi warga Subang yakinlah bahwa Subang kini perlahan berubah. Akronim Subang menjadi: Semangat Untuk Berkembang.(*)
Penulis: Ketua Ikatan Alumni Fikom Universitas Subang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H