Aku menarik tanganku yang hendak mengetuk pintu, ragu. Suara deheman Wak Rudi, sesepuh desa dari dalam rumahnya menciutkan nyaliku. "Ah, ada gerangan apakah Wak Rudi sedari kemarin terus mencariku?" Aku mereka-reka penuh cemas.
"Masuk." Suara Wak Rudi menyahut. Mendengar suara pintu ku ketuk dan salam. Membuka pintu. "Kau sudah seminggu kucari. Kata Emakmu tak kemana-mana. Lalu mengapa lama tak kunjung jua kesini, Ardi?"
Aku segera beringsut masuk mendahului tuan rumah  sebelum dipersilahkan. Melintasi Wak Rudi yang masih memegangi daun pintu,tangan kanannya erat menahan pengikat sarung yang terlihat hampir kedodoran. "Kabarnya sehat,Wak? Katanya habis jual sapi!" Kataku basa-basi. Mengambil posisi duduk di kursi anyaman yang terbuat dari bambu, lalu mengempaskan punggung hingga menciptakan bunyi kriet dari sana.
"Eh, lah. Sudah lama. Uangnya juga udah habis dikirim ke Paesal buat biaya semesteran. Kabarmu bagaimana? Kok semenjak mondok di Jawa malah pulang enggak pernah ikut kegiatan barzanji." Tanya Wak Rudi setelah nyaman dalam posisi duduk melipat kaki. Tangannya mulai sibuk meracik tembakau.
Aku mendengus napas panjang. Sudah kuduga, seminggu Wak Rudi mencariku, menyuruhku menemuinya hanya untuk menghakimiku. Aku mengkerutkan kening, mencari-cari alasan yang tepat atas jawaban pertanyaan  sesepuh desa ini. Membiarkan ruangan hening untuk sekian lama. Hanya terdengar kemretak suara cengkeh  bercecar saat Wak Rudi  menghisap racikan tembakaunya. Asap  mengepul memenuhi ruangan.
(***)
Tujuh tahun berlalu, semenjak kepergianku menimba ilmu ke pulau Jawa.  Belum genap satu bulan aku menjejakkan kakiku kembali di perkampungan ini. Melepas rindu yang tak terbendung  sekedar menghirupi udara segar setiap  hari, menikmati kicau burung kenari yang masih setia  bernyanyi liar, sungai yang berkelok nan jernih, mengairi persawahan yang terhampar luas, suara bebek berbaris  mandi di pematang, hingga kambing-kambing kecil yang masih terlihat berlarian di perkebunan tetangga.
Semuanya sempurna kunikmati, sebelum selanjutnya suasana itu berubah. Suasana yang sebenarnya  sejak pertama ku kembali sudah terasa perbedaannya. Namun perubahan itu ku abaikan begitu saja.
Belum genap satu bulan. Enam belas hari tepatnya aku di rumah. Semakin hari para tetangga banyak yang berdatangan, semakin banyak pula keluh kesah yang kudengar dari mereka. Rerata semua mengeluhkan anak-anaknya yang malas mengaji ke surau, tidak mau melanjutkan sekolah menengah atas, semuanya ingin pergi ke kota. Bekerja di kota, tepatnya. Banyak pula yang tak malu-malu mengeluhkan perbedaanku, lantaran aku tak lagi sering memakai sarung. Seperti sebelum aku pergi.
"Kau sudah tujuh tahun. Selayaknya kau meramaikan kampung dan setiap hari menjadi muadzin. Oh. Ya! Kau panjangkanlah jenggotmu itu. Tak pantas bertahun-tahun mondok masih saja bergaya modern."
"Alamak! Sejak kapan kau lepas sarung? Tak elok kau begitu. Pantas saja anakku tak sudi lagi bersarung. Meniru  kau rupanya!"