Dan ketika malam tiba, bait-bait puisimu pun sirna.
"Jangan takut. Aku akan segera menghadap Bapakmu."
"Tapi, bagaimana jika kamu berdusta?"
"Sayang. Seribu mil dari sini terempas lautan. Ribuan jam kita bersama. Hari-hari yang penuh warna. Ingatkah kau berapa banyak kita bertengkar. Namun aku masih sanggup meyakinkanmu. Duri-duri kehidupan telah kucabuti. Demi kamu. Lalu mengapa kau masih saja ragu. Kemarilah. Dekap aku. Cinta yang tulus nan terus berkobar adalah kita. Kemarilah, dekad daku. Selalu."
"Aku selalu sayang kamu."
(***)
Semilir angin mengusik. Entahlah. Dinginnya udara Nganjuk sepertinya tak mampu mengalahkan gerah hati, risau, gundah, gulana. Perasaaan yang selalu menggelayut setiap malam. Saat memori itu kembali terputar otomatis dalam benak. Karena kamu.
Kamu berubah. Sejak kau berhasil memilikiku sepenuhnya, kegagahanmu seolah luntur. Aku baru tahu sekarag, jika puncak kegagahan lelaki terletak pada seberapa bisa mendapatkan wanita suci. Lima belas tahun berlalu, namun masihku ingat, betapa gagahnya kau meyakinkanku untuk bersama, atau sekedar hanya mengajakku makan bersama. Padahal kau tahu, tak pernah ku mengijinkan seorang lelaki di kampus mendekat. Kala itu.
Awal mula hanya makan. Lalu kau ulangi. Hingga suatu hari kau benar-benar membuatku jatuh. Jatuh begitu dalam. Kau menjatuhkanku pada satu titik, waktu itu. Hanya baris lilin, ranjang, selimut, dan dua pasang bantal guling menjadi saksi, ke-egoisanmu. AKu jatuh padamu.
"Namun sekarang mana, Kang Arman! Kau pergi hanya karena aku tidak cantik lagi." Kataku padamu pagi itu. Gelas-piring kubanting kuat-kuat di lantai.Â
Kau hanya diam. Rautmu terlihat bahwa kau merasa bersalah. "Maafkan Akang, Nisa."