Mohon tunggu...
Lona Hutapea
Lona Hutapea Mohon Tunggu... Wiraswasta - Student

Lifelong learner. Memoirist.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perempuan dalam Kerusuhan

23 April 2010   17:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:37 998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Masih seputar perempuan, mumpung sisa-sisa gaung Hari Kartini belum sepenuhnya reda.  Semoga belum kadaluarsa dan masih bermanfaat. Tulisan ini bersumber dari hasil wawancara yang terdapat dalam Thesis berjudul "Spiritualitas Perempuan dalam Konteks Kerusuhan Antar Kelompok (Kasus Perempuan Kristen Ambon)", yang (kebetulan) ditulis oleh ibu saya, Helena Tanasale, lulusan Program Kajian Wanita, Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia (2004). [caption id="attachment_125393" align="aligncenter" width="497" caption="Ambon Manise (photo by Audhrey Louhenapessy)"][/caption] Tentu masih segar dalam ingatan kita peristiwa Kerusuhan Ambon yang berlangsung mulai dari tanggal 19 Januari 1999, berlanjut hingga beberapa tahun kemudian, dan melumpuhkan kota ini maupun daerah-daerah sekitarnya.  Tak hanya Ambon sebagai ibukota, hampir seluruh Propinsi Maluku bisa dibilang terkena imbas kerusuhan yang meluluhlantakkan wilayah 'Seribu Pulau' ini.  Tak terhitung korban yang sudah jatuh, baik korban jiwa maupun harta benda, belum lagi trauma psikologis yang terlanjur digoreskan, dan bagi sebagian orang mungkin takkan pernah sepenuhnya dipulihkan.  'Ambon Manise' saat itu berubah total menjadi pahit dan terpuruk. Sepenggal kisah mengenai penderitaan yang dialami oleh penduduk Kota Ambon, khususnya kaum perempuan, tergambar dalam wawancara dengan beberapa orang responden yang secara langsung mengalami kerusuhan.  Walaupun sungguh amat pahit, peristiwa kerusuhan itu juga membawa hikmah bagi mereka, baik dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat. Kehidupan Pribadi [caption id="attachment_125395" align="alignleft" width="200" caption="http://www.suaramerdeka.com"][/caption] Ibu A mengisahkan betapa rumah dan seluruh harta bendanya habis terbakar dalam sekejap, dan di saat yang sama ia harus menyaksikan suami dan putranya yang baru lulus kuliah dibunuh dan dibakar di dalam rumah itu.  Ia sendiri menderita luka di tangan akibat ditusuk dengan sangkur.  Semuanya berlangsung sangat singkat, hanya dalam tempo 2 jam. Ibu B adalah seorang Pendeta perempuan yang tetap bertahan di desa tempatnya mengabdi, saat rekan seprofesinya yang laki-laki dengan berbagai alasan memilih angkat kaki.  Ia kemudian harus memimpin ratusan penduduk yang desanya terbakar habis, lari meninggalkan desa dalam kegelapan malam, menyusuri hutan, gunung dan lembah di tengah hujan peluru oknum-oknum berseragam tentara. Saya bergidik membacanya.  Sulit membayangkan bahwa peristiwa yang mereka tuturkan benar-benar terjadi.  Luar biasa mengerikan, dan rasanya hanya bisa terjadi di layar lebar...  Namun ini sungguh kisah nyata, bukan cerita film belaka ! Yang lebih luar biasa adalah daya tahan mereka yang mengalaminya. Betapa mereka sanggup bertahan, dalam penderitaan yang begitu hebat mereka tidak menyerah.  Secara pribadi, apa yang dialami justru mempertebal iman percaya mereka, keyakinan bahwa dalam kondisi apa pun kasih Tuhan tetap menyertai. Ibu A yang kehilangan rumah, suami dan anaknya mengisahkan bahwa di detik peristiwa itu terjadi, saat bersembunyi di kamar mandi, dengan tubuh gemetaran ia hanya sanggup berdoa memasrahkan diri pada Tuhan.  Rasa takut yang amat sangat bahkan lebih menyiksanya dibanding kesedihan yang mendera.  Namun ia tetap percaya Tuhanlah yang memberinya kekuatan untuk menghadapi semuanya. Hanya pribadi-pribadi yang kuat, yang memiliki kepasrahan tingkat tinggi pada kehendak Tuhan, yang percaya penuh pada kasih, kuasa, dan kedaulatanNya-lah yang sanggup bertahan hidup di tengah himpitan penderitaan fisik maupun psikis seperti itu.  Pengalaman yang demikian mencekam malah membuat imannya lebih matang dan teruji.  Tidak menjadi bitter, tetapi better. Hidup Bermasyarakat Seluruh responden menyatakan bahwa sebelum kerusuhan masing-masing lebih memikirkan diri sendiri, namun peristiwa kerusuhan telah membuka mata hati mereka, 'memaksa' mereka untuk memikirkan dan membantu orang lain, seiman maupun tidak. Menurut salah seorang ibu, sebelumnya ia bahkan tidak terlalu mengenal tetangga di sebelah rumahnya karena kesibukan masing-masing.  Namun setelah kerusuhan merebak, mereka semua bergandengan tangan, merasa menjadi bagian dari suatu persekutuan yang saling menopang dan saling menguatkan. Selain mengadakan doa bersama, para perempuan ini juga berinisiatif untuk membantu korban kerusuhan serta mengadakan kegiatan bersama lintas agama yang melibatkan kedua belah pihak yang sedang bertikai. Adalah 'Gerakan Perempuan Peduli', komunitas perempuan lintas agama yang mengagendakan kegiatan bertajuk 'closing the gap', diperuntukkan bagi kaum perempuan Muslim maupun Kristen.  Kegiatan yang antara lain berupa program inner healing (penyembuhan luka batin) serta program penghentian konflik menjadi cikal bakal upaya untuk menggapai perdamaian. Para perempuan ini memprakarsai upaya rekonsiliasi di saat kaum laki-laki berperang dan saling menyerang. Perempuan untuk Perdamaian Ijinkan saya sekali lagi mengulangi kalimat di atas. Para perempuan ini memprakarsai upaya rekonsiliasi di saat kaum laki-laki berperang dan saling menyerang. Secara teoritis, Gadis Arivia, Doktor Filsafat dari Universitas Indonesia dalam bukunya "Filsafat Berperspektif Feminis" (2003) menyebutkan bahwa terdapat perbedaan cara berpikir antara laki-laki dan perempuan.  Sebagai contoh, laki-laki jika berbicara masalah keadilan atau etika maka mereka bicara soal etika keadilan. Sedangkan perempuan pada saat yang sama lebih mengedepankan etika kepedulian (Tempo Interaktif, 8 Oktober 2003). Apakah hal ini berarti laki-laki cenderung memilih cara kekerasan dan perempuan lebih berorientasi kepada perdamaian ? Tentu tidak semua.  Ada banyak kasus dimana berlaku kondisi sebaliknya.  Namun rasanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa secara umum perempuan memegang peranan yang sangat vital (baik terlihat maupun tidak, disadari maupun tidak) dalam upaya mewujudkan perdamaian, mulai dari tingkat pribadi, keluarga, sampai masyarakat luas. Dalam kondisi abnormal seperti kerusuhan di Ambon (maupun di tempat-tempat lain) dimana situasi cenderung sensitif, hal ini menjadi sangat signifikan.  Etika kepedulian menjadi lebih efektif ketimbang etika keadilan.  Mungkin kecil kelihatannya, tapi hasilnya luar biasa dan berpengaruh besar bagi kelangsungan hidup banyak orang. Menurut saya, mereka, para perempuan pemelihara perdamaian itu lebih dari layak disebut 'pahlawan', Kartini-Kartini yang - meminjam istilah Admin Kompasiana - sangat penting peranannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  Hidup perempuan ! "Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan amarah" (Amsal 15:1).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun