Artikel ini saya tulis tahun 2013, awalnya sebagai salah satu tulisan di buku kedua saya, Voilà La France (terbit April 2015). Karena tidak jadi dimasukkan, akhirnya tulisan ini pun ‘tergeletak’ begitu saja, malah saya sudah melupakannya.
Nah, setelah menghadiri Konferensi Pers Festival Sinema Prancis 2015 (lihat artikel sebelumnya, Dua Puluh Tahun Festival Sinema Prancis), saya baru teringat pernah menulis tentang film Prancis. Syukurlah akhirnya artikel ini bisa tayang juga setelah sekian lama terlupakan, tak jadi mubazir… hehe. Benarlah kata Pramoedya Ananta Toer, “Menulislah… suatu saat pasti berguna”.
[/caption]
Tulisan ini berisi pandangan pribadi saya mengenai film Prancis, ciri khas yang membedakannya dengan film-film mainstream (baca : Hollywood). Namanya juga pendapat pribadi, Anda boleh tidak setuju tentu saja. Sebaliknya, boleh dong saya berharap, mudah-mudahan setelah membaca dengan seksama, ada yang lalu jadi tertarik! Hehe…..
Oh ya, karena sudah agak lama ditulis, film-film yang menjadi referensi pun berasal dari beberapa tahun silam. Tapi menurut saya, film-film luar biasa ini masih sangat relevan untuk dibahas, dan paling pas dijadikan contoh mewakili opini saya.
Selain itu, saya juga berasumsi Anda yang membaca sudah menonton kedua film ini. Keduanya film spektakuler yang diganjar beberapa piala Oscar untuk berbagai kategori.
Kata Tara Basro
Press Release yang dibagikan pihak IFI (Institut Français d’Indonésie) saat Press Conference dalam rangka Festival Sinema Prancis (FSP) 2015, Rabu 25 November yang lalu, memuat komentar Tara Basro, Aktris Terbaik FFI 2015 yang terpilih sebagai Duta FSP, festival film asing tertua di Indonesia.
Menurut Tara, ia bangga terpilih sebagai Duta FSP karena dapat menjadi bagian dari sejarah industri film Prancis yang merupakan lokasi di mana film pertama kali dipertontonkan secara massal kepada publik.
Sejarah yang dimaksud Tara adalah tatkala Auguste dan Louis Lumière yang berasal dari Besançon, Prancis, mempertontonkan karya mereka, Sortie de l’usine Lumière de Lyon, di hadapan publik pada 28 Desember 1895. Dua saudara pemegang hak paten sinematografi ini diakui sebagai pembuat film pertama dalam sejarah. Salah satu film yang memunculkan Lumière Brothers adalah Hugo Cabret, beredar akhir Desember 2011.
Hugo Cabret
‘Hugo Cabret’ berkisah tentang seorang anak yatim piatu yang terpaksa menjalani kehidupan keras sebagai clock winder (pemutar jam) di Gare Montparnasse, salah satu stasiun kereta utama di Paris yang terletak tak jauh dari tempat saya belajar bahasa Prancis ketika menetap di Paris (2009-2013).
Film ber-setting Paris tahun 1930-an ini tak hanya memanjakan mata dengan cantiknya kemilau kota cahaya, namun juga membawa penonton hanyut menikmati atmosfir Paris saat kota itu tengah berada dalam masa keemasan sebagai kiblat para sastrawan dan seniman dunia, termasuk industri perfilman yang saat itu baru mulai tumbuh semarak.
Sumber: conachelleterarie.com
Film besutan sutradara kondang Martin Scorsese yang sukses meraih 5 piala Oscar ini berkisah tentang pertemuan Hugo (tokoh fiktif) dengan Georges Méliès, tokoh perfilman Perancis yang ternyata memang sungguh ada dalam dunia nyata. Ia pernah menjadi tokoh fenomenal berkat passion dan produktivitas yang luar biasa, namun kemudian mundur setelah terjadi perubahan besar pasca Perang Dunia I. Ia bangkit lagi di hari tuanya setelah bertemu Rene Tabard, seorang penggiat perfilman yang juga adalah tokoh nyata.
Tokoh nyata lainnya yang muncul sekilas adalah Lumière Brothers (lumière secara harfiah berarti ‘cahaya’), dua bersaudara pelaku sejarah, pelopor sinematografi dunia yang dimaksud Tara Basro tadi. Kakak beradik yang awalnya menekuni bisnis fotografi milik ayah mereka ini mengembangkan teknik ‘moving pictures’ yang membuka cakrawala baru, kemungkinan-kemungkinan tak terhingga bagi umat manusia untuk menggapai mimpi, melampaui batas-batas yang ada. Sejarah umat manusia kian semarak, makin tak berbatas. Seperti kata Georges Méliès, “…and so the new adventure began… the ability to capture dreams…“
Paris Bukan Hollywood
Meski setting ‘Hugo Cabret’ sepenuhnya berlangsung di Paris dan berkisah tentang sejarah perfilman dunia khususnya di masa-masa awal kelahirannya di Prancis, film ini sendiri jelas bukan film Prancis. Mulai dari produser, sutradara, sampai para pemain yang mayoritas justru bicara dengan logat Inggris yang kental, sama sekali tak memberi warna Prancis selain setting Paris dan sentuhan akordeon di musik latar. Nope… It’s no French at all. French movie is a completely different story. Sama sekali berbeda!
Sungguh tak mudah menemukan kata-kata untuk mengartikulasikan perbedaannya, tapi sangat bisa dirasa. Yang pasti, Prancis bukan Amerika, dan Paris bukan Hollywood!
Secara umum, film Prancis tak semeriah dan tak ‘sehangat’ film-film Hollywood, tak banyak basa basi dan warna warni. Film-film Prancis lebih straightforward, apa adanya. Tak menjual sensasi, tapi substansi. Dan yang pasti lebih membumi. Tak banyak dialog-dialog manis berbunga-bunga, efek pencahayaan yang ditata sedemikian rupa untuk menciptakan suasana romantis (yang kadang berlebihan). Semuanya relatif lebih ‘dingin’, lebih datar, tapi tak berarti kehilangan makna.
Jika diibaratkan seperti seorang perempuan, Hollywood adalah wanita yang cantik menarik, dengan rias wajah dan tata rambut sempurna, dalam balutan gaun spektakuler yang sangat ‘bling-bling’. Sedang film Prancis lebih mirip perempuan yang tak kalah jelita, namun dandanannya lebih sederhana, tak berlebihan, dengan little black dress yang chic dan perhiasan elegan. Tidak ‘wah’ dan sensasional, tapi lebih berkepribadian, anggun, matang, percaya diri, serta memancarkan inner beauty. Ini menurut pendapat saya, lho…
Untuk kategori drama, misalnya. Film Hollywood itu ‘so sweeet…’. Tiap adegan, terutama adegan romantis, dikemas dengan manis dan sangat dramatis. Sementara les films français tak segan menyajikan kenyataan dengan lebih apa adanya, tanpa tedeng aling-aling, tak banyak ‘bumbu penyedap’.
Kalau makanan yang jadi perumpamaan, maka Hollywood seperti beras pandan wangi yang putih bersih, pulen, rasanya enak, disukai semua orang. Film Perancis laksana beras merah yang teksturnya lebih keras, tidak pulen, tak begitu memanjakan lidah, tapi mengenyangkan dan baik untuk kesehatan.
The Artist
Di tahun yang sama, industri perfilman Prancis mengukir sejarah baru. Film ‘The Artist’ garapan sutradara Michel Hazanavicius juga meraih 5 piala Oscar, termasuk film terbaik, sutradara terbaik, dan aktor terbaik. Jean Dujardin menjadi aktor Prancis pertama yang berhasil mendapat Oscar.
Padahal film bergenre drama komedi ini adalah film bisu, hitam putih pula. Tapi alih-alih membuat jenuh, ‘The Artist’ justru sukses menawan jutaan penonton di seluruh dunia dengan kekuatan karakternya. Berani tampil beda, lain dari pada yang lain. Sangat klasik, sangat Prancis! Padahal setting film ini adalah Hollywood di tahun 1920-an, tapi French aura-nya sangat terasa.
Lucu ya, berbanding terbalik dengan ‘Hugo Cabret’ yang ber-setting Paris tapi sangat tidak Prancis sama sekali, hehe… Kebetulan yang lain, bisa-bisanya kedua film ini mencetak perolehan piala Oscar dalam jumlah yang persis sama, di tahun yang sama!
Sumber: homemcr.org
Salah satu media Inggris menyanjung ‘The Artist’ dengan mengutip pepatah terkenal “silence is golden”. Media ini juga memuat pernyataan Jean Dujardin, sang aktor utama, tentang keistimewaan film bisu. Menurut Dujardin, di saat menyaksikan film tanpa kata-kata yang punah pasca era Charlie Chaplin ini, penonton bisa lebih ‘terlibat’ karena mereka ‘dipaksa’ berimajinasi untuk menciptakan dialog versi masing-masing. Bener juga ya…
Di luar komentar-komentar mainstream yang bermunculan, ada pula yang super konyol bin usil. Seperti sebuah situs Prancis yang memasang foto Jean Dujardin dan lawan mainnya, Berenice Bejo, disertai teks:
“The Artist, le film muet rafle 5 Oscars, une première pour un film français! Comme quoi, quand les Français ferment leurs gueule, tout le monde les apprécie !»
Artinya kurang lebih, ”Film bisu The Artist meraih 5 Oscar, pertama kalinya untuk film Prancis ! Orang Prancis memang baru akan dihargai saat mereka tutup mulut!” Hahahaha…..
Asal tahu saja, film-film Prancis juga kerap berisi dialog-dialog sarkastik. Memang begitulah keseharian masyarakatnya, senang bercanda dengan menyelipkan unsur sarkasme, tapi nggak sampai ‘baper’… hehehe.
Kata Garin Nugroho
Untuk menutup tulisan ini, saya akan mengutip pernyataan Garin Nugroho dalam Siaran Pers FSP 2015 kemarin. Garin sendiri tidak hadir dalam Konferensi Pers karena sedang berada di Hawai. Berikut sebagian kesan dan pesannya:
“… Sejarah sinema Prancis selalu mendorong pembuat film melahirkan karya-karya personal, dengan cara pandang sendiri di luar industri film Hollywood. Karena itu, sudah selayaknya sinema Prancis menjadi bagian dari budaya tontonan pecinta film Indonesia!”
Voilà!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H