‘Hugo Cabret’ berkisah tentang seorang anak yatim piatu yang terpaksa menjalani kehidupan keras sebagai clock winder (pemutar jam) di Gare Montparnasse, salah satu stasiun kereta utama di Paris yang terletak tak jauh dari tempat saya belajar bahasa Prancis ketika menetap di Paris (2009-2013).
Film ber-setting Paris tahun 1930-an ini tak hanya memanjakan mata dengan cantiknya kemilau kota cahaya, namun juga membawa penonton hanyut menikmati atmosfir Paris saat kota itu tengah berada dalam masa keemasan sebagai kiblat para sastrawan dan seniman dunia, termasuk industri perfilman yang saat itu baru mulai tumbuh semarak.
Sumber: conachelleterarie.com
Film besutan sutradara kondang Martin Scorsese yang sukses meraih 5 piala Oscar ini berkisah tentang pertemuan Hugo (tokoh fiktif) dengan Georges Méliès, tokoh perfilman Perancis yang ternyata memang sungguh ada dalam dunia nyata. Ia pernah menjadi tokoh fenomenal berkat passion dan produktivitas yang luar biasa, namun kemudian mundur setelah terjadi perubahan besar pasca Perang Dunia I. Ia bangkit lagi di hari tuanya setelah bertemu Rene Tabard, seorang penggiat perfilman yang juga adalah tokoh nyata.
Tokoh nyata lainnya yang muncul sekilas adalah Lumière Brothers (lumière secara harfiah berarti ‘cahaya’), dua bersaudara pelaku sejarah, pelopor sinematografi dunia yang dimaksud Tara Basro tadi. Kakak beradik yang awalnya menekuni bisnis fotografi milik ayah mereka ini mengembangkan teknik ‘moving pictures’ yang membuka cakrawala baru, kemungkinan-kemungkinan tak terhingga bagi umat manusia untuk menggapai mimpi, melampaui batas-batas yang ada. Sejarah umat manusia kian semarak, makin tak berbatas. Seperti kata Georges Méliès, “…and so the new adventure began… the ability to capture dreams…“
Paris Bukan Hollywood
Meski setting ‘Hugo Cabret’ sepenuhnya berlangsung di Paris dan berkisah tentang sejarah perfilman dunia khususnya di masa-masa awal kelahirannya di Prancis, film ini sendiri jelas bukan film Prancis. Mulai dari produser, sutradara, sampai para pemain yang mayoritas justru bicara dengan logat Inggris yang kental, sama sekali tak memberi warna Prancis selain setting Paris dan sentuhan akordeon di musik latar. Nope… It’s no French at all. French movie is a completely different story. Sama sekali berbeda! Â
Sungguh tak mudah menemukan kata-kata untuk mengartikulasikan perbedaannya, tapi sangat bisa dirasa. Yang pasti, Prancis bukan Amerika, dan Paris bukan Hollywood!
Secara umum, film Prancis tak semeriah dan tak ‘sehangat’ film-film Hollywood, tak banyak basa basi dan warna warni. Film-film Prancis lebih straightforward, apa adanya. Tak menjual sensasi, tapi substansi. Dan yang pasti lebih membumi. Tak banyak dialog-dialog manis berbunga-bunga, efek pencahayaan yang ditata sedemikian rupa untuk menciptakan suasana romantis (yang kadang berlebihan). Semuanya relatif lebih ‘dingin’, lebih datar, tapi tak berarti kehilangan makna.
Jika diibaratkan seperti seorang perempuan, Hollywood adalah wanita yang cantik menarik, dengan rias wajah dan tata rambut sempurna, dalam balutan gaun spektakuler yang sangat ‘bling-bling’. Sedang film Prancis lebih mirip perempuan yang tak kalah jelita, namun dandanannya lebih sederhana, tak berlebihan, dengan little black dress yang chic dan perhiasan elegan. Tidak ‘wah’ dan sensasional, tapi lebih berkepribadian, anggun, matang, percaya diri, serta memancarkan inner beauty. Ini menurut pendapat saya, lho…
Untuk kategori drama, misalnya. Film Hollywood itu ‘so sweeet…’. Tiap adegan, terutama adegan romantis, dikemas dengan manis dan sangat dramatis. Sementara les films français tak segan menyajikan kenyataan dengan lebih apa adanya, tanpa tedeng aling-aling, tak banyak ‘bumbu penyedap’.