UNESCO, organisasi PBB yang mengurusi masalah-masalah pendidikan, ilmu pengetahuan dan budaya itu berpusat di Paris, tepatnya di Avenue Suffren yang terletak di 7th Arrondissement, tidak jauh dari La Tour Eiffel. Kamis, 10 Juni 2010 yang lalu, kursi-kursi di Salle 1, salah satu ruang sidang utama berkapasitas lebih dari 1000 orang itu tampak penuh terisi. Para undangan yang terdiri dari Pejabat Pemerintah maupun anggota Parlemen dan Senat Perancis, Corps Diplomatique, wartawan, masyarakat pencinta seni serta warga Indonesia yang tinggal di Paris dan sekitarnya terlihat memadati ruangan. Yang datang terlambat terpaksa harus duduk di balkon. Kali ini L’Ambassade de la République d’Indonésie à Paris (KBRI Paris) bekerja sama dengan Pemda Provinsi Aceh berinisiatif menyelenggarakan 'Soirée culturelle indonésienne' (Malam Budaya Indonesia), sebuah pagelaran seni bertajuk 'Sourire d’Aceh' (Senyuman Aceh / Aceh Tersenyum). [caption id="attachment_165078" align="aligncenter" width="317" caption="Sourire d'Aceh (www.amb-indonesie.fr)"][/caption] [caption id="attachment_165428" align="alignleft" width="300" caption="dok. pribadi"][/caption] Backdrop berhias foto Mesjid Baiturrahman menjadi latar panggung luas yang biasa menjadi ajang tampil duta-duta budaya dari berbagai bangsa. Tidak sembarang orang memang bisa tampil di markas besar organisasi budaya dunia itu. Hanya institusi 'negara' yang diperkenankan mengisi pentas di sana. Adalah Chargé d’Affaires (Kuasa Usaha Ad Interim / KUAI) KBRI Paris, Bp. Maruli Tua Sagala yang mengawali acara dengan sambutannya. Ia mengemukakan bahwa demokrasi, Islam, dan modernisasi ternyata dapat hidup seiring sejalan dengan harmonis berkat penerapan asas 'Bhinneka Tunggal Ika' yang dianut bangsa Indonesia. Selanjutnya Ibu Darwati Abdulgani, isteri Gubernur Aceh sekaligus Pembina Sanggar Cut Nyak Dhien yang malam itu tampil mewakili Provinsi Serambi Mekkah, dalam sambutannya menyatakan bahwa tarian Aceh umumnya memiliki ciri heroik, menggambarkan karakter yang selalu bersemangat. Saat ini pun wajah Aceh telah kembali tersenyum sesudah berhasil melepaskan diri dari bayangan kelam musibah tsunami, optimis menyongsong masa depan yang lebih cerah. Keduanya senada melukiskan pagelaran ini sebagai ungkapan terima kasih dan penghargaan rakyat Aceh kepada masyarakat internasional, khususnya negara-negara Uni Eropa dan Perancis, atas bantuan yang telah diberikan dalam bencana tsunami 2004 yang lalu. 'Sourire d'Aceh' memang menjadi 'nafas' pagelaran ini, benang merah yang mensinambungkan butir demi butir tarian dan musik Aceh yang sangat ritmis dan dinamis, hingga mampu memukau penonton yang betah duduk manis sampai akhir pertunjukan. Pemutaran DVD mengenai rekonstruksi Aceh juga ditampilkan malam itu. Visualisasi suasana saat tsunami melanda Aceh ditampilkan hanya sekilas di awal acara, namun selanjutnya gerak pembangunan pasca bencana mendapat porsi lebih besar, sesuai tema 'Aceh Tersenyum'. 8 tarian yang dibawakan sungguh unik dan bernyawa. 25 penari dan pemusik tradisional Aceh ini memang tampil sangat total, kompak, menyatu dengan apa yang mereka persembahkan, membuat penonton berdecak kagum menikmati penampilan artis-artis muda ini. Saya sendiri yang baru menyaksikan beberapa tarian untuk pertama kali, takjub dan angkat topi. Tari Peumulia Jamee, tarian untuk memuliakan / menghormati tamu membuka pagelaran, digabungkan dengan peragaan busana tradisional Aceh. Di sela-sela tarian, 5 orang penari cantik itu turun panggung, membawa tampah berisi souvenir dan makanan khas Aceh untuk dibagikan kepada penonton yang kelihatan sangat antusias menyambut 'oleh-oleh' ini. [caption id="attachment_165431" align="aligncenter" width="500" caption="Antusias menerima souvenir (dok. pribadi)"][/caption] [caption id="attachment_165433" align="alignright" width="277" caption="Tari Saman, nominator 'intangible cultural heritage' (dok. pribadi)"][/caption] Tari Saman yang seperti biasa menjadi bintang pertunjukan, ditampilkan sebagai sebuah ritual yang ditarikan oleh 10 penari pria. Penampilan ini merupakan momentum penting dan punya makna khusus, di tengah upaya Pemerintah untuk mendaftarkan Tari Saman sebagai salah satu warisan budaya dunia 'tak benda' (intangible cultural heritage), menyusul wayang dan batik. Hal ini juga ditekankan oleh KUAI KBRI Paris dan isteri Gubernur Aceh yang dalam sambutannya sama-sama menyampaikan harapan semoga Tari Saman diterima dan disahkan dalam Sidang UNESCO nanti. Adapun dokumen berisi foto-foto, audiovisual dan musik Tari Saman sendiri telah diserahkan oleh Pemerintah ke Kantor Perwakilan UNESCO di Jakarta tanggal 7 April yang lalu (Portal UNESCO). Tari Perang Sabilillah, sebuah tarian teatrikal yang menggambarkan perjuangan Cut Nyak Dhien dan bala tentara wanitanya melawan penjajah Belanda juga tampil unik. Wajah-wajah cantik dan tampan para penari yang biasanya selalu berulas senyum ceria berubah menjadi serius saat mempertunjukkan tarian ini. Selain karena membawakan adegan perang, mereka juga harus ekstra hati-hati dan berkonsentrasi penuh karena pemeran Cut Nyak Dhien dan pasukannya membawa rencong asli, dan pemeran tentara Belanda membawa pedang 'beneran'. Denting rencong dan pedang yang beradu menjadi aksen irama tersendiri di tengah iringan musik gong dan rebana. Penonton pun diperingatkan untuk tidak menyalakan blitz saat memotret aksi ini, karena dikhawatirkan akan mengganggu konsentrasi penari. [caption id="attachment_165434" align="aligncenter" width="500" caption="Tari Perang Sabilillah, dengan rencong dan pedang asli, menggambarkan perjuangan Cut Nyak Dhien melawan Belanda (dok. pribadi)"][/caption] Lainnya adalah Tari Guel, Phok Teupeun, Kipah Sikarang, Rapai Geleng, dan Rampoe Aceh yang merupakan medley cuplikan beberapa tarian. Semua tarian dipenuhi hentakan ritmis yang mengalir membuat kami, penonton, tidak sempat 'meleng' sedikit pun. Kostum warna warni yang dihiasi sulaman indah khas provinsi di ujung paling barat Nusantara ini menjadi daya tarik tersendiri. Akustik ruangan dan pencahayaan warna warni di panggung juga mendukung primanya kualitas pertunjukan. Pokoknya keren banget deh, nggak malu-maluin... [caption id="attachment_165435" align="aligncenter" width="400" caption="dok. pribadi"][/caption] Buktinya, di akhir pertunjukan, setelah defile, para penari didaulat kembali tampil (encore) untuk menerima apresiasi penonton yang tak henti bergema di Salle 1. Sebagian penonton juga berebut naik ke panggung untuk berfoto bersama para artis. Meskipun kelihatan cukup lelah setelah tampil full power demi menyajikan yang terbaik, mereka tetap tersenyum ramah. Senyum lebar pun menghiasi wajah para panitia yang telah bekerja keras untuk kesuksesan acara ini. Bravo !!! Artikel terkait : Dari Paris (1): Monalisa - Kecil itu Indah Dari Paris (2): Dilarang Bercelana Panjang ! Dari Paris (3): Picasso - Dulu (Dituduh) Mencuri, Kini (Sering) Dicuri Dari Paris (4): Champs-Élysées Mendadak Hijau Dari Paris (5): Je T’aime (Bonne Fête, Maman) Warna Warni ‘Festival de Cannes’ D-Day at Normandy Beach (Pendaratan Sekutu, 6 Juni 1944)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H