Salah satu dikotomi dalam bidang hukum adalah apa yang biasa kita kenal dengan istilah Bahasa Latin 'de jure' dan 'de facto'. 'De jure' berarti "menurut hukum". Sedangkan 'de facto' berarti "pada kenyataannya" atau "pada prakteknya". Istilah 'de facto' dapat pula digunakan apabila tidak ada hukum atau standar yang relevan, tetapi sebuah praktik yang lazim, sudah mapan dan diterima, meskipun mungkin tidak sepenuhnya bersifat universal. Semua orang turut menerapkannya seolah-olah itu adalah sesuatu yang resmi (wikipedia). Kontradiksi antara 'de facto' dan 'de jure' ini cukup sering ditemui dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Mungkin dalam banyak kasus hal ini dibiarkan berjalan begitu saja tanpa upaya atau bahkan niat untuk mencoba membuat keduanya sinkron. Namun ada kalanya jika terjadi kontradiksi dalam suatu bidang, pihak-pihak yang terkait merasa perlu untuk melakukan pembenahan yang tentu akan memakan waktu, bisa singkat dan bisa pula panjang, tergantung masalah yang dihadapi. Apalagi hal-hal yang menyangkut perubahan hukum atau peraturan biasanya memang tidak semudah membalik telapak tangan. Kadang-kadang waktu yang dibutuhkan bisa sangat sangat panjang, bahkan sampai ratusan tahun. Seperti yang terjadi di Paris. Di kota ini, ternyata secara hukum (de jure) kaum perempuan dilarang berpakaian (baca : mengenakan celana panjang) seperti laki-laki. Ya ! Kota yang identik dengan fashion industry, tempat lahirnya desainer-desainer ternama, dan diakui sebagai pusat mode yang menjadi kiblat dunia ini ternyata sudah lebih dari 200 tahun berkutat dengan aturan yang melarang mahluk hawa memakai celana panjang layaknya kaum adam. [caption id="attachment_137767" align="aligncenter" width="500" caption="dok. pribadi"][/caption] Peraturan ini awalnya diberlakukan sekitar tahun 1800 oleh pejabat Kepala Kepolisian di Paris waktu itu. Dikatakan bahwa "Perempuan yang ingin berpakaian seperti laki-laki harus terlebih dulu melapor ke Markas Besar Kepolisian di Paris untuk minta izin." Hampir seabad kemudian, tepatnya di tahun 1892, larangan itu agak 'diperlunak' melalui amandemen yang mengijinkan perempuan mengenakan celana panjang saat sedang berkuda. Kemudian pada tahun 1909 'pelonggaran' itu diperluas, kali ini para perempuan yang sedang bersepeda (baik dalam posisi mengendarai maupun menuntun sepedanya) juga diperkenankan bercelana panjang. Sejak itu, tidak pernah lagi ada penyesuaian terhadap peraturan tersebut, meskipun beberapa kali telah diusulkan untuk mengamandemen atau bahkan menghapus saja aturan yang sudah sangat kuno dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Salah satu upaya untuk meniadakan peraturan itu dilakukan di tahun 1969, saat dunia sedang gencar mengkampanyekan masalah kesetaraan jender. Namun pejabat yang berwenang ketika itu menolak. Terakhir salah seorang anggota Parlemen mengusulkan pembatalan peraturan itu pada tahun 2003, namun kembali ditolak. Apakah ini berarti secara 'de jure', selama ratusan tahun jutaan perempuan di Paris, mulai dari para petinggi negara sampai rakyat biasa telah melakukan pelanggaran hukum ? Demikian dipertanyakan beberapa situs yang memberitakan tentang hal ini. Adalah Evelyne Pisier, seorang perempuan ahli hukum, penulis buku 'Le Droit des Femmes' (Hak-hak Perempuan) yang belakangan kembali mengangkat topik ini ke permukaan. Ia menyoroti sebuah contoh kontradiktif, dimana celana panjang merupakan seragam resmi para polisi wanita di Paris. Apakah itu berarti mereka semua melanggar hukum ? [caption id="attachment_137914" align="alignleft" width="333" caption="Rancangan Chloe (getty images) & Gaultier (nytimes.com)"][/caption] Yang jelas berbagai alasan mulai dari kenyamanan, kepraktisan, sampai kesetaraan jender, bisa dikemukakan untuk mendukung tren perempuan bercelana panjang. Apalagi di Paris, the fashion city, di mana semua serba ada, serba bebas. Bahkan designer labels terkemuka seperti Chanel, Gaultier, Dior, Balmain, dan lain-lain, hampir selalu mengusung konsep perempuan bergaya maskulin dalam desain baru yang mereka luncurkan dari tahun ke tahun. Memang pada dasarnya semua sependapat bahwa peraturan itulah yang harus segera ditiadakan. Kalau dua abad lalu perempuan yang bercelana panjang mungkin bisa dianggap 'salah kostum', sebaliknya peraturannya yang 'salah waktu' (anachronistic) kalau harus diterapkan saat ini. Salah satunya adalah Gerard Charasse, seorang anggota Parlemen Perancis yang menyatakan bahwa peraturan itu sudah kedaluarsa dan jelas tidak boleh terus dipertahankan ("It is fundamentally outdated and clearly wrong that this obsolete rule is still in place"). [caption id="attachment_137932" align="alignright" width="300" caption="Assemble Nationale, Gedung Parlemen Perancis (dok. pribadi)"][/caption] Beberapa hari yang lalu, 10 anggota Parlemen mendesak diberlakukannya delegalisasi peraturan ini, karena sudah tidak relevan lagi sejak persamaan hak antara laki-laki dan perempuan diakui dalam konstitusi Perancis di tahun 1946. Presiden Sarkozy pun sebelumnya telah menyatakan bahwa dalam paruh kedua tahun ini, Parlemen perlu menelaah peraturan perundangan yang memang perlu direvisi, termasuk yang satu ini. Liputan bertajuk larangan bercelana panjang ini mengundang cukup banyak komentar yang meramaikan halaman situs telegraph.co.uk, mirip-mirip lah dengan di Kompasiana. Dan ternyata, di berbagai penjuru dunia masih banyak terdapat peraturan-peraturan 'ajaib' macam begini, peninggalan zaman baheula yang tak pernah diutak-atik sampai sekarang (Top 10 Strangest Laws). Di Indonesia ada juga nggak ya ? Artikel terkait : Dari Paris (1): Monalisa - Kecil itu Indah Dari Paris (3): Picasso - Dulu (Dituduh) Mencuri, Kini (Sering) Dicuri Dari Paris (4): Champs-Élysées Mendadak Hijau Dari Paris (5): Je T’aime (Bonne Fête, Maman) Dari Paris (6): ‘Aceh Tersenyum’ di Paris Warna Warni ‘Festival de Cannes’ D-Day at Normandy Beach (Pendaratan Sekutu, 6 Juni 1944)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H