Mohon tunggu...
Popy Indriana
Popy Indriana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Talkative outside, an introvert inside.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Menggugat Pemahaman Kursi Prioritas

15 Agustus 2014   00:55 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:31 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika anda seorang Ibu yang berencana bepergian menggunakan jasa Commuter Line (KRL) dan sedang membawa anak kecil tapi bukan balita, saya sarankan untuk memilih gerbong campuran saja ketimbang gerbong khusus wanita. Mengapa? Bukan karena saya menganggap gerbong ini banyak berisi orang-orang yang gagal memahami arti kursi prioritas walaupun memang sepertinya benar adanya :) tetapi di gerbong campuran setidaknya lebih mudah membuat para bapak-bapak mau mengalah memberikan kursi kepada anak bukan balita :) [caption id="" align="aligncenter" width="384" caption="sumber:naningisme.wordpress.com"][/caption] Bukan sekedar gagal paham, rasa-rasanya sudah pada tahap krisis rasa kemanusiaan. Bagi mereka, kursi prioritas ya hanya kursi di pojok dekat sambungan gerbong, dan berlaku benar definisi peruntukannya. Jadi jika anda membawa anak berusia 5 tahun (atau lebih-lebih dikitlah), itu tidak serta merta membuat kita istimewa, seperti halnya saya waktu itu dan bukan hanya sekali. Seharusnya anak-anak mendapatkan pengalaman yang menyenangkan ketika menggunakan transportasi publik. Wujudnya tentu saja diwakili oleh kesigapan dan kesadaran orang-orang dewasa yang memberikan tempat duduknya. Ini bukan sekedar soal kemanusiaan. Tetapi lebih menjadi contoh, teladan untuk anak -anak kita bahwa kursi dimanapun itu tetap juga menjadi hak bagi siapapun yang kondisinya lebih membutuhkan. Kegemasan saya terhadap beberapa penumpang di KRL gerbong wanita bukan sekedar soal kursi prioritas, tetapi keengganan untuk segera memberikan pada siapapun yang lebih berhak. Saya pernah sampai beradu mulut. Saat itu seorang Ibu membawa dua orang balita tidak mendapatkan satu pun kursi di tempat dia seharusnya berada. Ketika saya mencoba mengingatkan, apa jawaban ibu-ibu montok, berbadan kekar, segar bugar itu? Semua kompak menjawab, "Kan semua juga sama-sama capek". Sungguh, saat itu saya cuma ingin melempar sepatu saya ke muka para ibu-ibu itu. Ingat kasus Dinda yang dihujat gara-gara menuliskan status di Path. Itu gambaran salah satu dari orang-orang yang sudah mengalami krisis pemahaman kursi prioritas. [caption id="attachment_338080" align="aligncenter" width="300" caption="sumber:pribadi"]

14080135221358748344
14080135221358748344
[/caption] Jadi seandainya pak Ignatius Jonan membaca tulisan ini, saya ingin sedikit menggugat, minta tolong khusus di Indonesia yang masih akan merevolusi mental warganya, himbauan untuk kursi prioritas mungkin bisa lebih represif. Sepertinya orang Indonesia itu membutuhkan yang sifatnya hukuman bukan sekedar himbauan. Jadi para Satuan Pengamanan yang biasa membawa pentungan itu, mungkin bisa lebih memberdayakan pentungannya itu :) Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun