Menarik sekali ketika menemukan tulisan opini yang dimuat di Kompas cetak, edisi 18 Agustus 2014 kemarin. Ditulis oleh Laksamana Muda TNI (Purn) Darmawan, menyorot soal tekad JKW-JK untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="sumber:alumnisipil98.web.id"][/caption] Keinginan merangkum kembali tulisan beliau, karena sebelumnya juga sempat membaca tulisan kompasianer mba Ilyani Sudardjat yang juga mengupas hal ini . Visi Maritim sepertinya menjadi trending topic ,sebuah wacana baru yang sebenarnya sudah lama, karena menjadi jargon kampanye, selain revolusi mental yang juga diusung pasangan no 2 di pilpres lalu. Namun tekad ini sepertinya bukan main-main, dan sepertinya menjadi nafas spirit, mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai negara maritim karena sejarah pernah membuktikan, di masa lalu, Sriwijaya pernah memiliki armada laut yang tangguh dan menjadi pusat perdagangan. Ciri negara maritim adalah memiliki kemampuan mengelola laut sebagai sumber kesejahteraan bangsa dan menjadi poros perdagangan dunia. Sebenarnya, gambaran fundamental pembangunan berorientasi maritim sudah pernah dirintis sejak dibawah kepemimpinan Bung Karno. Berikut sejarahnya :
- 1957 (Bung Karno) : Deklarasi Djuanda , munculnya konsep Wawasan Nusantara
- 1982 (Pak Harto) : Pengakuan Internasional tentang Hukum Laut (UNCLOS)
- 1999 (Gus Dur) : Dibentuknya Kementerian Kelautan dan Perikanan
Namun, rintisan ini sepertinya belum terlalu signifikan berkontribusi terhadap kesejahteraan rakyat. Masih banyak sumber daya kelautan yang belum dioptimalkan, seperti yang sudah diulas oleh mbak Ilyani disini dan masih rawannya tindak kriminal (contoh: pencurian ikan), termasuk pelanggaran kedaulatan. Hal ini mungkin juga disebabkan kurangnya imajinasi yang cukup visioner sehingga belum terimplementasi nyata dalam setiap kebijakan yang strategis dan berpihak bagi para pelaku di industri maritim. Paradigma masyarakat tentang laut cenderung masih menjadikan laut sebagai sektor pinggiran (peripheral sector) , contohnya: kehadiran proyek jembatan selat sunda, suramadu. Ini mencerminkan nalar daratan masih kuat. Indonesia sebagai negara maritim hanya dimaknai dalam spektrum geografis karena merupakan negara kepulauan. Ini tercermin pada pembangunan kelautan belum menjadi mainstream pembangunan nasional, akibat tergerusnya budaya maritim dengan budaya kontinental-agraris Terpilihnya pasangan JKW-JK dengan visi maritimnya ini haruslah menjadi momentum, titik balik kejayaan Indonesia sebagai negara maritim. Yang pertama kali tentu saja merubah orientasi, paradigma lama dari land based menjadi archipelagic based. Tercetusnya gagasan tol laut (yaitu laut sebagai jembatan sekaligus tol (jalan raya) yang menyatukan dan sebagai jalur distribusi barang menggunakan kapal berkapasitas besar dari pelabuhan laut dalam satu ke pelabuhan laut dalam di kota lainnya), itu sudah merupakan fundamental pemikiran bahwasanya Indonesia justru dihubungkan oleh laut bukan dipisahkan oleh laut. Yang kedua, memajukan industri perkapalan yang notabene sebagai subyeknya dan terakhir tentu saja perbaikan infrastruktur pelabuhan untuk meningkatkan produktivitas transportasi kapal-kapal pemasok komoditas. Mengapa visi maritim ini menjadi hal yang sangat kritikal. Belajarlah dari Cina yang begitu agresif menguasai lautan (sengketa Laut Cina Selatan). Laut Indonesia mengandung sumber daya ikan kurang lebih 7 juta ton per tahun serta cadangan migas dan mineral yang sangat besar. Upaya kemajuan maritim bisa sebagai visi jangka panjang pemenuhan kebutuhan pangan, energi dan sumber daya alam yang nantinya sudah tidak sanggup dicukupi dari lahan daratan. Maka, tepatlah semboyan ini “Siapa yang menguasai lautan, maka akan menguasai dunia.” Semoga terwujud :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H