Setelah Dinda dan Florence Sihombing di Path, micro-blogging Twitter kembali heboh setelah beberapa waktu lalu ada pemuda lain yang digugat Walikota Bandung Ridwan Kamil gara-gara dianggap menghina dengan status yang diunggahnya. Kali ini muncul kembali nama Rifqi Jamil, mengunggah status yang menghina Presiden SBY. Saya menemukan share status twitternya di Path pagi ini. Entahlah, sepertinya orang tak juga mau belajar dari kasus - kasus sebelumnya. Lupa juga bahwa kebebasan kita berekspresi di sosial media juga dibatasi dengan yang namanya Undang -Undang ITE. Jadi tak serta merta orang boleh berkoar-koar seenaknya. Justru dampak sosial media jauh lebih luas karena tanpa bordering. Jadi hukuman sosial pun juga jauh lebih berat. [caption id="attachment_345202" align="aligncenter" width="300" caption="Search Twitter Rifqi Jamil"][/caption] Rifqi Jamil bukanlah orang yang tak berpendidikan. Dia juga memiliki akun LinkedIn yang menghubungkan para profesional di Industrinya. Namun sayang, latar belakang pendidikan tidak berbanding lurus dengan panjangnya berpikir sebelum bertindak. Beberapa waktu lalu seorang teman juga mengunggah status gambar di Facebook ketika hangatnya kampanye Pilpres. Teman ini mengunggah gambar pembalut wanita yang anti bocor, dengan maksud menyindir salah satu capres. Ada beberapa teman wanitanya yang menyatakan keberatan dengan status ini, dan mengingatkan tetapi teman saya ini justru malah mengatakan ini urusan dia, suka-suka dia mau mengunggah gambar apa. Akhirnya saya bisa membungkam mulutnya ketika saya bilang, bebas di sosmed bukan berarti bebas dari Undang-Undang yang berlaku. Saya bisa saja menganggap ini salah satu bentuk pelecehan. Dan saya menyindirnya sebagai orang yang bekerja di industri Telekomunikasi namun tak sadar dengan etika berjejaring sosial. Sungguh sebuah paradoks. Memang, sejak munculnya sosial media, setiap orang merasa ingin menunjukkan aktualisasi dirinya. Piramida Maslow menjelaskan fenomena ini. Ketika kebutuhan dasar sudah terpenuhi, setiap orang berusaha memenuhi kebutuhan lainnya . Itu pula yang melatarbelakangi seseorang yang sudah berkecukupan lantas kemudian berpikir untuk terjun ke dunia politik atau mencalonkan diri menjadi seorang pemimpin walaupun sadar dengan elektabilitas yang rendah. Bukan sekedar tentang kekuasaan tetapi kebutuhan untuk mengukir sejarah. [caption id="" align="aligncenter" width="425" caption="silahkanngintip.blogspot.com"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H