Mohon tunggu...
Popy Indriana
Popy Indriana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Talkative outside, an introvert inside.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kasus Rifqi Jamil, Sekali Lagi Kasus Kebablasan di Sosial Media

1 Oktober 2014   00:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:53 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah Dinda dan Florence Sihombing di Path, micro-blogging Twitter kembali heboh setelah beberapa waktu lalu ada pemuda lain yang digugat Walikota Bandung Ridwan Kamil gara-gara dianggap menghina dengan status yang diunggahnya. Kali ini muncul kembali nama Rifqi Jamil, mengunggah status yang menghina Presiden SBY. Saya menemukan share status twitternya di Path pagi ini. Entahlah, sepertinya orang tak juga mau belajar dari kasus - kasus sebelumnya. Lupa juga bahwa kebebasan kita berekspresi di sosial media juga dibatasi dengan yang namanya Undang -Undang ITE. Jadi tak serta merta orang boleh berkoar-koar seenaknya. Justru dampak sosial media jauh lebih luas karena tanpa bordering. Jadi hukuman sosial pun juga jauh lebih berat. [caption id="attachment_345202" align="aligncenter" width="300" caption="Search Twitter Rifqi Jamil"][/caption] Rifqi Jamil bukanlah orang yang tak berpendidikan. Dia juga memiliki akun LinkedIn yang menghubungkan para profesional di Industrinya. Namun sayang, latar belakang pendidikan tidak berbanding lurus dengan panjangnya berpikir sebelum bertindak. Beberapa waktu lalu seorang teman juga mengunggah status gambar di Facebook ketika hangatnya kampanye Pilpres. Teman ini mengunggah gambar pembalut wanita yang anti bocor, dengan maksud menyindir salah satu capres. Ada beberapa teman wanitanya yang menyatakan keberatan dengan status ini, dan mengingatkan tetapi teman saya ini justru malah mengatakan ini urusan dia, suka-suka dia mau mengunggah gambar apa. Akhirnya saya bisa membungkam mulutnya ketika saya bilang, bebas di sosmed bukan berarti bebas dari Undang-Undang yang berlaku. Saya bisa saja menganggap ini salah satu bentuk pelecehan. Dan saya menyindirnya sebagai orang yang bekerja di industri Telekomunikasi namun tak sadar dengan etika berjejaring sosial. Sungguh sebuah paradoks. Memang, sejak munculnya sosial media, setiap orang merasa ingin menunjukkan aktualisasi dirinya. Piramida Maslow menjelaskan fenomena ini. Ketika kebutuhan dasar sudah terpenuhi, setiap orang berusaha memenuhi kebutuhan lainnya . Itu pula yang melatarbelakangi seseorang yang sudah berkecukupan lantas kemudian berpikir untuk terjun ke dunia politik atau mencalonkan diri menjadi seorang pemimpin walaupun sadar dengan elektabilitas yang rendah. Bukan sekedar tentang kekuasaan tetapi kebutuhan untuk mengukir sejarah. [caption id="" align="aligncenter" width="425" caption="silahkanngintip.blogspot.com"]

silahkanngintip.blogspot.com
silahkanngintip.blogspot.com
[/caption] Untuk kita yang sekedar orang kebanyakan, bentuk pemenuhan aktualisasi diri ya melalui sosial media ini. Diantaranya adalah ingin terlihat lebih berwawasan luas. Mengetahui  isu hangat yang sedang menjadi trending topik. Apalagi sejak reformasi yang katanya merupakan tonggak lahirnya Demokrasi di Indonesia, orang selalu mengartikan ini sebagai kebebasan berbicara. Bicara apapun, bahkan mungkin sampai menghina seorang Presiden yang notabene adalah simbol negaranya sendiri. Saat ini euforia politik memang sedang hangat-hangatnya. Sejak dimulainya kampanye Pileg, Pilpres, gugatan Pilpres, sampai yang terakhir UU Pilkada, tiba-tiba semua orang menjadi pengamat politik. Tapi hanya sekedar modal share link dari kanal berita , termasuk juga dari tulisan para kompasianer.  Ya itu tadi hanya sekedar bentuk aktualisasi diri. Tetapi teman-teman saya ini tidak ada yang benar-benar mampu mengutarakan pendapat yang bernas, padat, dan cerdas dengan opini tulisan yang argumentative. Sekedar hanya debat kusir yang memperpanjang komentar  di time line. Akhirnya, muncul lah kembali Rifqi Jamil, yang berlagak mengikuti berita politik tetapi tak cukup dalam memahami etika berpolitik di sosial media. Jadi hanya bisa berkata #Shame On You...untuk orang-orang yang mengaku melek pendidikan,tidak gagap teknologi tetapi tak cerdas berperilaku di sosial media Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun