“Setiap Individu dan Lembaga-Lembaga Bisnis dan Non Bisnis Harus Mulai Merevolusi Dirinya Masing-Masing Untuk Membangun Budaya Pelayanan Publik Yang Terbaik.” – Djajendra
Belum hilang dalam benak saya kisah yang menimpa Prita Mulyasari, warga negara “biasa” yang akhirnya harus menghadapi proses hukum akibat keluh kesah mengenai pelayanan di salah satu rumah sakit swasta yang ia kirim ke sahabat-sahabatnya melalui surat elektronik. Prita dituduh melakukan pencemaran nama baik, lalu Prita pun diperkarakan termasuk diminta mengganti rugi materiil. Akibatnya tidak sedikit elemen masyarakat yang gerah. Berbagai gerakan dibentuk mendukung Prita. Yang terbesar adalah gerakan moral menyisihkan koin rupiah untuk membantu Prita membayar ganti ruginya, mereka menyebutnya Koin Untuk Prita atau Koin Keadilan.Menariknya, gaung gerakan moral ini berawal “hanya” dari situs jejaring sosial, Facebook. Masyarakat seakan tidak peduli dengan proses hukum yang berjalan, yang mereka inginkan adalah keadilan. Satu hal sederhana yang mungkin dalam anggapan masyarakat tidak dapat ditemukan di ruang pengadilan sekarang ini.
Ntah hanya sekedar ikut-ikutan, atau memang karena simpatik, gerakan-gerakan moral sejenis gerakan Prita mulai menjadi trend di situs jejaring sosial, dan seringkali mendapat respon yang besar dari para penggunanya. Bahkan terkadang menjadi topik yang hangat dibicarakan di media-media lain seperti media televisi ataupun media cetak. Sebegitu kuatnya kah pengaruh situs jejaring sosial di tengah-tengah masyarakat kita sekarang ini? Menurut Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Aswin Sasongko, saat ini jumlah pengguna Facebook di Indonesia sebanyak 43,06 juta penggunayang merupakan negara dengan pengguna Facebook tertinggi ketiga di dunia. (Antara News, 21 Juni 2012) sedangkan jumlah pengguna Twitter di Indonesia saat ini mencapai 19,5 juta pengguna atau tertinggi kelima di dunia (www.tempo.co – 2 Februari 2012).Angka ini membuktikan bahwa situs jejaring sosial semacam facebook atau twitter telah menjadi “makanan sehari-hari” sebagian besar pengguna internet di Indonesia. Gerakan Koin Untuk Prita, sebagai contoh, telah membuktikan bahwa imbas kekuatan jaringan media sosial ternyata tidak hanya sebatas di dunia maya. Melalui situs jejaring sosial, masyarakat dapat secara bebas mengetahui keluh kesah penggunalainnya, memberi komentar, bersimpati bahkan ikut membentuk dukungan moral. Di kasus seperti kasus Prita, lembaga bisnis maupun non bisnis harus mulai merevolusi dirinya masing-masing untuk membangun budaya pelayanan publik yang terbaik (Djajendra)
Lembaga, baik bisnis maupun instansi pemerintah yang basis konsumennya adalah masyarakat luas, wajib berbenah diri dalam hal pelayanan publik, walaupun pelayanan publik instansi pemerintah yang notabene bersifat primer dan cenderung tunggal, instansi pemerintah wajib menunjukkan keseriusan dalam pembenahan birokrasi dan peningkatan kualitas pelayanan. Berbagai instansi pemerintah penyelenggara jasa pelayanan publik yang bersifat primer seperti pajak, imigrasi, perbendaharaan dan kantor perizinan usaha telah membuktikan keseriusan mereka dalam perbaikan kualitas pelayanan publik. Berbagai gebrakan telah berhasil dibuat semata-mata untuk memenuhi kepuasan masyarakat, bahkan beberapa instansi pemerintah telah selangkah lebih maju dengan membangun sistem contact center atau complaint center yang terintegrasi sehingga memudahkan publik mengakses atau bertanya seputar pelayanan yang ada pada instansi tersebut. Tercatat di tahun 2009, institusi pemerintah pertama yang memiliki contact center di Indonesia ialah Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan dengan layanan bernama Kring Pajak dengan nomor telepon 500200. Bahkan, tahun lalu Direktorat Jenderal Pajak menerima tujuh buah penghargaan sekaligus pada acara The Best Contact Center Indonesia 2011 yang diselenggarakan oleh Indonesia Contact Center Association (ICCA) beberapa waktu yang lalu. Sebuah pencapaian yang pantas diapresiasi, mengingat pelayanan publik dari instansi pemerintah dikenal cenderung tidak transparan dan seringkali dikaitkan dengan birokrasi berbelit-belit dengan proses yang panjang dan cenderung memakan waktu yang lama.
Idealnya seluruh instansi pemerintah yang bersifat primer dan berbasis pelayanan publik wajib memperhatikan kelayakan pelayanannya, terutama setelah diterbitkannya Undang-Undang Pelayanan Publik yang dalam prakteknya diharapkan dapat mewujudkan penyelenggaraan pelayanan publik yang prima dan menjamin kepastian hak dan kewajiban serta kepastian hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Apalagi, berdasarkan pasal 59 Undang-undang tersebut, semua peraturan atau ketentuan mengenai penyelenggaraan pelayanan publik wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini paling lambat dua tahun sejak berlakunya Undang-Undang tersebut pada bulan Juli tahun 2009. (www.antaranews.com)
Melalui undang-undang pelayanan publik, Negara mewajibkan setiap lembaga pelayanan publik untuk melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya, maka alangkah baiknya setiap lembaga dengan basis unit pelayanan publik melakukan evaluasi internal demi tercapainya kepuasan publik pengguna jasanya. Evaluasi internal dapat berupa mentransformasi diri, mengubah mindset, menyederhanakan birokrasi dan mengubah prosedur pelayanannya menjadi lebih responsif dan fleksibel. Tingginya permintaan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang prima menjadikan adaptabilitas layanan mengarah kepada derajat dimana keinginan pelanggan berada. Lembaga penyelenggara pelayanan menempati posisi penting di dalam perbaikan sistem pelayanan, terutama saat pelayanan yang tidak sesuai standar atau terdapat komplain dari pelanggan. “Saluran” komplain bisa melalui apa saja, surat pembaca, laporan langsung ke pejabat di lembaga tersebut atau sekedar menulis status di situs jejaring sosial. Dalam kasus Prita, ia memilih untuk mengirim surat elektronik kepada teman-temannya. Di situasi seperti inilah fungsi pusat pengaduan menjadi amat penting. Pengaduan yang diterima melalui pusat pengaduan tidak saja menjadi bahan evaluasi bagi para stakeholder penyelenggara pelayanan untuk melakukan perbaikan standar pelayanan, juga mampu meminimalisir dampak buruk komplain tersebut apabila pelayanan yang kurang memuaskan tersebut diketahui oleh masyarakat luas. Bagi instansi pemerintah yang telah terbuka, pengaduan dari masyarakat akan ditindaklanjuti terutama dengan pemeriksaan dan investigasi internal. Hasil pemeriksaan bisa berupa koreksi standar pelayanan hingga penjatuhan hukuman disiplin apabila terdapat pelanggaran kode etik. Bagi instansi lainnya yang belum menyediakan saluran komplain, masyarakat berhak melaporkan praktek yang diduga maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik melalui Komisi Ombudsman Nasional, atau kini dikenal dengan sebutan Ombudsman Republik Indonesia. Ombudsman berhak melakukan pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik sejauh pelayanan itu dilaksanakan oleh instansi pemerintah pusat, daerah ataupun BUMN, BUMD dan BHMN atau didanai oleh APBN/APBD. Apabila terdapat pengaduan atau laporan, Ombudsman bekerja dengan cara mendengarkan keterangan dari kedua belah pihak, baik dari pihak pelapor maupun terlapor (imparsial). Walaupun Ombudsman tidak memiliki kewenangan melakukan penuntutan atau menjatuhkan sanksi, lembaga yang dibentuk pada tahun 2000 ini berhak memberikan rekomendasi kepada instansi terkait untuk menjatuhkan sanksi atau sekedar melakukan koreksi.
Masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan menjadi elemen penting dalam proses reformasi dan penyederhanaan birokrasi dalam bidang pelayanan. Segala masukan, kritik maupun komplain yang masuk dapat dijadikan bahan untuk melakukan penyusunan Standard Operating Proceduresyang ideal. Tugas terberatnya ialah menyusun suatu Standard Operating Proceduresyangmampu memenuhi ekspektasi masyarakat pengguna jasa sekaligus memberikan kemudahan bagi para petugas lapangan yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Di atas kertas, Standard Operating Proceduresseringkali“hanya” mementingkan kepuasan masyarakat pengguna jasa dan terkesan menutup mata terhadap kesulitan teknis yang sering terjadi di lapangan. Penyelenggara pelayanan yang berada pada lini terdepan unit pelayanan seringkali menghadapi hal-hal yang “tidak tertampung” di dalam Standard Operating Procedures, yang pada akhirnya dapat membuat masyarakat tidak puas dan justru merugikan unit pelayanan publik tersebut. Gambaran sederhananya, pelayanan yang telah sesuai Standard Operating Procedures pun belum tentu menjamin bahwa masyarakat tidak akan melayangkan komplain atau kecewa dengan suatu standar pelayanan. Standard Operating Proceduresselain menjadi alat untuk mencapai kepuasan masyarakat juga diharapkan mampu menjadi “batas aman” bagi petugas pelayanan publik yang berhadapan langsung dengan masyarakat pengguna jasa.
Lalu apabila masyarakat merasa tidak puas terhadap pelayanan satu lembaga, haruskah masyakarat pengguna jasa pelayanan melakukan pengaduan atau membuat pelaporan? Menurut hemat saya, masyarakat wajib mengadu, sepanjang disalurkan melalui media yang telah disediakan. Berikutnya, menjadi tugas stakeholder untuk menampung dan menindaklanjuti laporan tersebut. Evaluasi untuk memastikan ada tidaknya Standard Operating Procedures yang tidak dilaksanakan akan sangat diperlukan untuk memastikan tidak ada hak pengguna pelayanan yang tidak dipenuhi. Apabila ternyata tidak ditemukan maladministrasi dalam pelaksanaan Standard Operating Procedures makatugas stakeholder penyelenggara pelayanan selanjutnya ialah melakukan perbaikan sekaligus penyesuaian antara standar kemauan masyarakat dengan Standard Operating Procedures pelayanan di lembaga tersebut sehingga standar pelayanan prima yang ideal dapat terbentuk, yang akhirnya tujuan umum pelayanan yaitu untuk mencapai kepuasan pelanggan yang maksimal dapat terwujud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H