Mohon tunggu...
Lolo Sianipar
Lolo Sianipar Mohon Tunggu... -

Seorang PR Consultant yang sangat suka KFC, Jalan-Jalan, Nyelam, Puisi, Film, dan kedamaian.\r\n\r\nHidup cuma sekali, bikin bahagia aja.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Iliku Bidu

9 Maret 2011   04:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:57 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_94044" align="aligncenter" width="300" caption="picture taken from animals.desktopnexus.com"][/caption] Iliku Bidu tinggal di kotak kayu kecil di sudut ruangan yang besar. Tidak ada yang menyadarinya karena tidak ada juga yang melihat kearah sudut gelap lembab. Semua melihat ke arah yang sejajar dengan matanya, ke depan atau ke belakang. Kadang mereka melihat ke atas, kearah datangnya sinar, tapi tidak sudut gelap lembab. Maka amanlah Iliku Bidu disana diantara derap langkah orang. Tapi yang menarik bukan hidup dari Iliku Bidu disana atau mahkluk apakah dia. Yang menarik adalah cerita yang didengarnya di waktu senggang ketika dia melongok dari kotaknya. Percakapan orang-orang yang lalu lalang. Orang-orang yang tidak dia kenal tapi apa yang mereka katakan membuatnya terpaku, dan membaca cerita dari beda derap langkah mereka. Seperti pagi ini seorang anak kecil berkata pada ibunya "Bu, apakah ayah akan pulang hari ini?". Ibunya memperlambat langkahnya sambil menjawab dengan suara bergetar "Tidak, masih ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan Nak". Anak itu menghentakkan kakinya "Tapi sudah terlalu lama Bu! Aku rindu ayah!" dan diantara hentakan kaki itu setetes air terjatuh. "Ayah juga rindu padamu... Ibu akan minta ia menulis surat, oke? Jangan menangis ya... Ayah sayang padamu". Kaki anak itu berjinjit mendekati ibunya sesaat. Lalu sambil melompat-lompat kecil disamping langkah cepat ibunya - dan semakin menjauh - anak itu berkata "Aku sayang ayah dan ibu, dan kalau Ayah datang, Ibu tidak akan pakai baju hitam lagi? Ibu lebih cantik pakai baju bunga-bunga…" “Aku curiga tunanganku selingkuh” suaranya gadis itu resah dan berat, langkahnya oleng dan tidak mantap. “Hey tidak baik prasangka buruk, kau akan menikah besok!” pekik temannya memperlambat langkahnya. “Di lantai mobilnya aku menemukan puntung rokok berlipstik merah pagi ini. Tadi malam dia tidak bisa aku hubungi sama sekali, katanya dia lagi lembur. Aku meragukannya!” nadanya meninggi dan menjadi bergetar. “Tenangkan dirimu, ini hanya sindrom panik mendekati pernikahan” Teman wanita-nya berjalan semakin merapat menghibur, hingga sepatu tumit merah nya yang elegan berdampingan dengan sepatu sol datar sang calon pengantin. Sepatu tumit merah itu ada cacat di ujung depan bagian kiri, bekas terbakar puntung rokok yang abunya pun masih ada. Langkah mereka sayup menghilang. “Sudah aku bilang, lebih baik kita naik taksi. Kenapa sih ayah ngotot harus jalan kaki?” perempuan paruh baya itu berjalan sedikit menghentak meninggalkan langkah tua menyeret dibelakang. “Kita jadi 2 kali lebih lama, dan sesampai dirumah ayah juga jadi terlalu capek. Nanti sakit lagi!” perempuan itu berhenti menunggu langkah pelan dibelakangnya. Kakek dengan sepatu kulit tua berwarna mungkin coklat. “Kalau begini kan merepotkan Ayah, jam makan siang sudah lewat aku harus segera kembali ke kantor. Janjinya hanya ke dokter, tidak ada pakai acara jalan kaki”. Tak sabaran wanita itu mendekati kembali si Kakek. “tepat hari ini, Ayah berlutut disekitar sini melamar ibumu 50 tahun lalu… Ayah sangat rindu ibumu…” Sepatu kulit tua itu bergetar bersama suara tua yang menahan tangis. Wanita itu tidak berkata apa-apa lagi, mereka berjalan sangat lambat. “Halloww!” suara gadis mungil yang jongkok didepan kotaknya menghentak Iliku Bidu. “Kau lagi apa? Kaget begitu, pasti seperti biasa kau sedang nguping pembicaraan orang ya? Aku menangkap basah dirimuuuu…” suaranya yang polos terdengar ceria. “Hari ini aku tidak bisa berlama-lama bermain denganmu. Katanya Mama cuma sebentar di klinik hari ini, lalu aku dan Mama mau makan es krim. Senang ya? Aku mau rasa strawberry. Itu Mama!” gadis itu beranjak, berbalik dan berlari menuju seorang wanita. “Maaaa, bagaimana hari ini? Mama kok pucat sekali? Sakit ya obatnya? Mama kalo lagi ga pengen es krim juga ga papa kok. Kita langsung pulang aja? Mama mau bobo aja? Nanti aku buatkan teh” si kecil sungguh cerewet… lalu berbisik dia berjinjit kearah kaki yang lemah dan pelan… “Mama, aku mau botak seperti mama boleh? Mama cantik loh botak begitu…” dan lagi dengan suara langkah mereka yang hilang ditelan derap langkah lainnya. Iliku Bidu, mahkluk yang tinggal di kotak kayu kecil di sudut ruangan yang besar. Berbalik dan menghilang. Sampai esok lagi. Cerita-cerita yang lain lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun