Mohon tunggu...
Eka H. Sulistiani
Eka H. Sulistiani Mohon Tunggu... lainnya -

Writer

Selanjutnya

Tutup

Money

Biaya Transaksi: Obstruksi Daya Saing Indonesia dalam Menghadapi Asean Economic…

4 April 2014   05:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:06 1907
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hanya dalam hitungan bulan, pintu menuju ASEAN Economic Community (AEC) 2015 akan terbuka lebar. Laiknya European Economic Community yang mengintegrasikan negara-negara di kawasan Eropa, AEC juga mewadahi negara-negara ASEAN agar bergerak seirama dalam balutan kebijakan regional. AEC merupakan salah satu paket kegiatan integrasi ASEAN selain ASEAN Political-Security Community (APSC) dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC). Pada pertemuan KTT ASEAN ke-9 di Bali pada Oktober 2003, atau lebih dikenal sebagai Bali Concord II, ketiga pilar tersebut diformulasikan agar tercapai pada 2020 sesuai termuat pada ASEAN Vision 2020. Namun seiring dengan menguatnya raksasa baru yakni China dan India, maka anggota ASEAN dalam KTT ASEAN ke-12 di Cebu, Filipina, pada Januari 2007 menyepakati percepatan integrasi tersebut menjadi tahun 2015.
Mengacu pada ASEAN Economic Community Blueprint, salah satu elemen integrasi AEC adalah negara-negara ASEAN akan bergerak menuju prinsip keterbukaan, outward-looking, inklusif, dan ekonomi berbasis pasar yang konsisten dengan peraturan multilateral yang sudah disepakati bersama. AEC menandai terwujudnya pasar tunggal dan kesatuan basis produksi (single market and production base) di sepuluh negara anggota ASEAN, di mana hal ini mendorong terjadinya aliran bebas atas barang, jasa, faktor produksi, investasi dan modal, serta penghapusan tarif bagi perdagangan antarnegara ASEAN. Oleh karena itu, AEC berpegang pada kunci karakteristik yang memuat terwujudnya: (1) pasar tunggal dan kesatuan unit produksi; (2), persaingan ekonomi regional yang tinggi; (3) kawasan dengan pengembangan ekonomi yang layak; dan (4) kawasan yang terintegrasi penuh dengan ekonomi global. Pasar tunggal ini disebut pula sebagai ASEAN Free Trade Area (AFTA).
Di dalam komunitas masyarakat tunggal seperti AEC, maka diharapkan tidak ada lagi hambatan-hambatan yang diterapkan negara-negara anggotanya untuk menghalangi masuknya produk negara lain, dengan kata lain no barrier to entry. Dengan demikian, sudah tidak ada lagi isu mengenai hambatan tarif, dumping, dan upaya proteksi lainnya. Satu-satunya jalan agar produk bisa menembus dan bertahan di pasar yang dinamis dan kompetitif tersebut, satu-satunya jalan adalah dengan menghasilkan produk berdaya saing. Masing-masing negara anggota ASEAN sudah berbenah diri dengan menyiapkan berbagai kebijakan, program, investasi dasar, dan infrastruktur dengan tujuan agar dapat bersaing di dalam pasar tunggal tersebut.
Di Indonesia sendiri, menurut Kementerian Pertanian, mutu produk merupakan salah satu indikator keberhasilan peningkatan daya saing produk pertanian. Selain itu, Menteri Perekonomian mengungkapkan bahwa pemanfaatan teknologi diperlukan agar dapat berkompetisi di pasar global. Pemberian Hak Kekayaan Intelektual (HKI) juga menjadi poin dalam mendongkrak daya saing. Di luar faktor teknis tersebut, terdapat hal implisit yang menentukan daya saing yakni besaran biaya transaksi. Biaya transaksi menimbulkan biaya tambahan di luar harga riil dalam menghasilkan suatu produk/kegiatan. Biaya transaksi ini menjadi obstruksi atau hambatan kuat yang menghalangi pelaku ekonomi karena biaya transaksi memengaruhi pertimbangan pelaku ekonomi dalam melakukan ketiga hal teknis di atas. Di Indonesia, biaya transaksi merupakan salah satu penyebab terbesar melemahnya daya saing pelaku-pelaku ekonomi baik dalam melakukan penetrasi pasar domestik maupun pasar global.
Besarnya biaya transaksi menyebabkan ekonomi biaya tinggi yang dapat melemahkan daya saing pelaku ekonomi di Indonesia. Secara sederhana, biaya transaksi dapat diartikan sebagai biaya di luar harga riil suatu produk/kegiatan yang dikeluarkan dalam rangka mendapatkan produk atau kegiatan tersebut. Di satu pihak, biaya transaksi merupakan sumber pendapatan bagi pemungut biaya tersebut, namun hal ini merugikan bagi pelaku usaha bahkan berdampak negatif jika ditinjau secara makro. Laiknya biaya produksi, biaya transaksi terdiri dari dua tipe yakni: (a) biaya transaksi tetap (fixed transaction cost), yakni investasi spesifik yang dibuat di dalam menyusun kesepakatan kelembagaan (institutional arrangements); dan (b) biaya transaksi variabel (variable transaction costs), yakni biaya yang tergantung pada jumlah dan volume transaksi. Pada poin ini, sifat biaya transaksi sama dengan ongkos produksi, di mana keduanya mengenal konsep biaya tetap dan biaya variabel. Namun dalam identifikasi yang lebih mendalam, pembedaan antara biaya tetap dan biaya variabel dalam biaya transaksi tidaklah semudah membandingkannya dengan biaya produksi.
Berdasarkan alokasi pengeluarannya, biaya transaksi menyangkut biaya manajerial di dalam unit usaha (managerial transaction cost) dan ongkos untuk mengakses pasar (market transaction cost). Di samping itu, terdapat biaya yang diasosiasikan untuk menggerakkan dan menyesuaikan kerangka politik kelembagaan (political transaction cost). Biaya transaksi manajerial lebih berkenaan dengan kemampuan internal pelaku ekonomi, sementara biaya mengakses pasar berkaitan dengan faktor eksternal. Tulisan ini lebih cenderung mengupas biaya mengakses pasar (market transaction cost).Secara spesifik, biaya transaksi pasar (market transaction costs) bisa dikelompokkan secara lebih rinci sebagai: (1) biaya dalam menyiapkan kontrak (secara sempit diartikan sebagai biaya untuk pencarian kontrak dan informasi). Biaya ini muncul karena unit usaha memuat pengeluaran secara langsung (misalnya biaya iklan, mengunjungi klien prospektif, dan sebagainya), biaya tidak langsung melalui kreasi pasar yang terkoordinasi (pameran, pertukaran saham, dan sebagainya), dan biaya komunikasi. Dalam skala makro, biaya pencarian kontrak juga berupa biaya untuk memengaruhi kebijakan; (2) biaya dalam mengeksekusi kontrak (biaya negoisasi dan pengambilan keputusan); serta (3) biaya pengawasan (monitoring) dan biaya penegakan kontrak.
Pada poin pertama (biaya penyusunan kontrak), untuk mendirikan usaha yang legal membutuhkan biaya pendirian ijin usaha. Biaya-biaya ini seperti birokrasi perizinan, perpajakan, dan sebagainya. Pada beberapa daerah, proses birokrasi membutuhkan biaya tinggi juga proses yang berbelit-belit. Selain itu, untuk menembus birokrasi diperlukan diplomasi yang mumpuni agar pejabat memuluskan prosesnya. Biaya diplomasi ini juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Masing-masing pelaku ekonomi memiliki kemampuan berbeda dalam menyisihkan dananya untuk mengantisipasi adanya biaya transaksi. Sebagai contoh dikutip dari kasus terbaru dewasa ini, yakni kasus korupsi SKK Migas yang melibatkan perusahaan minyak asing dan beberapa petinggi negara merupakan contoh pengeluaran biaya transaksi untuk memuluskan kontrak usaha. Bagi perusahaan besar, biaya lebih dari US$ 400 ribu merupakan nilai biaya transaksi yang dapat ditanggungnya, namun bagi pelaku usaha menengah dan mikro-kecil, kemungkinan besar akan cenderung mengundurkan diri dari forum negosiasi tersebut.
Biaya transaksi dalam mengakses pasar salah satunya biaya dalam berpartisipasi di pameran, yakni kemampuan dalam mengikuti kegiatan Meeting, Invention, Conference, and Exhibition (MICE). Pelaku ekonomi skala mikro, kecil, dan menengah tidak mudah mengendalikan biaya transaksi pasar karena membutuhkan biaya yang lebih tinggi dari biaya produksinya. Oleh karena itu, skala usahanya tidak kunjung membesar. Selain itu,  pelaku UKM kesulitan dalam memeroleh input dengan harga pasar yang layak karena kehadiran perusahaan besar atau figur yang sering memengaruhi kebijakan yang mendukung ekonomi rente. Biaya-biaya tersebut merupakan biaya overhead yang harus dipertimbangkan oleh pelaku ekonomi, apakah maju atau mundur dari upaya peningkatan daya saing dan kompetisi usaha. Kemampuan finansial dan diplomasi masing-masing pelaku ekonomi tersebut menentukan kemampuannya dalam meningkatkan daya saing agar dapat berkompetisi di pasar global termasuk dalam AEC 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun