Mohon tunggu...
Egeneto Logos
Egeneto Logos Mohon Tunggu... -

No Logic, No Faith

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengapa Perlu Belajar Logika Part I

6 November 2013   23:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:30 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1. Mengapa Perlu Belajar Logika - Bagian I Kalau anda berencana membaca buku ini atau mengambil bagian dalam pelatihan logika, maka anda perlu alasan untuk melakukannya. Mengapa belajar logika? Apa yang logika bisa tetapi tidak bisa diberikan kimia atau sejarah misalnya? Dapatkah logika mengajarkan kita sesuatu, ataukah hidup lebih dalam dari pada logika? Kalau anda bermaksud belajar logika hanya karena studi anda mengharuskan anda melakukannya, maka pertanyaan yang muncul adalah: Mengapa kurikulum studi memasukkan logika? Mengapa ada orang yang berpikir bahwa logika cukup penting untuk dijadikan studi wajib? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab, tetapi jawabannya mungkin tidak seperti yang anda harapkan. Karena banyak orang menghina logika, maka perlu penting untuk memahami hubungan antara logika dan moralitas misalnya. Banyak orang yang yang berpandangan bahwa tidak perlu belajar logika. “Hidup lebih dalam dari logika” katan mereka. “Hidup itu hijau, sedangkan logika itu abu-abu dan tidak bergairah.” Para pujangga mengatakan “kita harus membunuh membedah.” Banyak orang percaya bahwa adalah lebih baik untuk menggunakan waktu untuk berdoa, protes, atau berkhotbah. Atau kalau mereka memiliki kecenderungan naturalistik, mereka mungkin mengusulkan untuk bermeditasi dengan berkonsentrasi pada pusar, atau matahari terbenam, atau melakukan eksperimen di laboratorium. Jadi mengapa harus belajar logika? Mungkin kalau kita memahami apa itu logika, kita dapat menjawab pertanyaan ini dengan lebih baik. Apa itu logika? Di sekolah dasar anda belajar membaca, menulis, dan berhitung. Ketiga bidang itu dengan tepat dianggap sebagai dasar bagi pendidikan selanjutnya: orang tidak bisa belajar sejarah, botani, atau computer kalau tidak mampu membaca. Membaca, menulis, dan berhitung adalah dasar dan alat yang memampukan orang belajar lebih lanjut atau untuk mengemudi, belanja, atau mendapatkan pekerjaan. Tetapi adakah sesuatu yang lebih mendasari dari ketiga hal itu? Sesuatu yang begitu jelas tetapi orang tidak menyadarinya apa lagi mempelajarinya? Apa yang sama dari membaca, menulis, dan berhitung? Jawabannya adalah pikiran. Orang harus berpikir agar bisa membaca dan menulis. Berpikir, sama seperti hal lainnya, harus tunduk pada peraturan tertentu kalau kita ingin melakukannya dengan benar. Kadang-kadang kita melakukan kesalahan dalam berpikir. Kita melakukan lompatan kesimpulan; kita memegang asumsi yang tidak ada dasar; kita menggeneralisir. Ada bidang yang mengkatalogkan kesalahan-kesalahan ini, dan menunjukkannya sehingga kita dapat mengetahuinya di masa depan dan kemudian menjelaskan aturan-aturan untuk menghindarinya. Bidang ini disebut logika. Tempat bagi Logika Logika bukanlah psikologi. Logika tidak memberi deskripsi tentang apa yang orang pikirkan atau bagaimana mereka biasanya sampai pada kesimpulan; tetapi logika memberi gambaran bagaimana orang seharusnya berpikir jika mereka ingin berpikir secara tepat. Logika lebih seperti aritmetika daripada sejarah, karena logika menjelaskan peraturan-peraturan yang harus orang ikuti untuk sampai pada kesimpulan yang tepat, sama seperti aritmetika menjelaskan aturan-aturan yang harus diikuti untuk sampai pada jawaban yang benar. Logika terkait dengan semua pemikiran; sangat mendasar untuk semua disiplin, mulai dari pertanian sampai austronotika. Tidak ada banyak logika: satu untuk filsafat, satu untuk agama, dll tetapi hanya ada satu aturan pemikiran yang diberlakukan dalam dunia politik misalnya atau kimia misalnya. Beberapa orang mencoba menyangkal bahwa logika diterapkan dalam semua bidang, karena mereka ingin menjadikan beberapa bidang sebagai tempat perlindungan bagi argument yang tidak logis misalnya teologi dan ekonomi. Hasilnya disebut polylogisme – banyak logika – yang sebenarnya adalah penyangkalan terhadap logika. Tetapi dengan berpandangan dan mengatakan bahwa ada banyak jenis logika, orang harus menggunakan aturan logika [yaitu logika yang tidak banyak]. Mengatakan bahwa ada banyak logika sama saja dengan mengatakan bahwa ada lebih dari satu aritmetika – yang satu mengatakan bahwa 2 tambah 2 sama dengan 4 dan yang lain mengatakan bahwa 2 tambah 2 sama dengan 5 (Penulis: jangan dipusingkan dengan berbagai bilangan dasar dalam aritmetika. Saya berbicara tentang gagasan, bukan kata). Orang yang meremehkan atau mengecilkan arti logika harus menggunakan logika bahkan kalaupun dia sedang merendahkan dan mengecilkan arti logika. Mungkin ini secara khusus dapat dipahami kalau kita membahas tentang hukum-hukum logika. Hukum-Hukum Logika Hukum logika pertama disebut Hukum Kontradiksi, tetapi akhir-akhir ini orang mulai menyebutnya Hukum Non Kontradiksi, tetapi keduanya merujuk kepada hal yang sama. Aristotle mengungkapkan hukum ini dengan kata-kata: “Satu atribut/sifat tidak dapat melekat dan tidak melekat pada subyek yang sama dengan hubungan yang sama.” Secara simbolis hukum ini dinyatakan secara simbolis: “Tidak bisa sama-sama A dan Non-A.” Satu daun maple bisa hijau dan kuning, tetapi tidak bisa hijau dan kuning pada saat yang sama dan dengan hubungan yang sama – daun itu bisa hijau pada musim panas dan kuning pada musim rontok. Kalau daun itu hijau dan kuning pada saat yang sama, yaitu daun itu tidak bisa hijau dan kuning dalam hubungan yang sama. Satu bagian, sekecil apapun, bisa hijau dan bagian lain kuning. Ke-hijau-an dan bukan ke-hijau-an tidak dapat pada saat yang sama dan dengan pengertian yang sama jadi sifat satu daun maple. Mengambil contoh lain: satu garis bisa melengkung dan lurus sekaligus, tetapi dengan hubungan berbeda. Satu bagian bisa melengkung dan yang lainnya lurus, tetapi satu bagian tidak bisa melengkung dan lurus sekaligus. Hukum kontradiksi memiliki arti lebih dari pada itu. Hukum ini berarti bahwa setiap kata dalam kalimat “Garis itu lurus” memiliki arti spesifik. Kata itu tidak berarti semua, ataubukan. Kata garis tidak berarti putih, atau kata lain. Setiap kata memiliki arti khusus. Agar memiliki arti khusus, satu kata bukan hanya harus berarti sesuatu tetapi juga harus tidak berarti yang lain. Kata garis berarti garis, tetapi tidak beraerti bukan garis – sepertianjing, matahari terbit, atau Yerusalem, misalnya. Jika kata garis bisa berarti apa saja, maka kata itu tidak berarti apa-apa. Tidak ada seorangpun yang mempunya gambaran sedikitpun kalau mendengar kata garis. Hukum kontradiksi berarti bahwa agar setiap kata memiliki arti maka kata itu tidak berarti yang lain. John W. Robbins, dalam Logic, tulisan Gordon H. Clark. Terjemahan Ma Kuru

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun