Mohon tunggu...
Widya Pratama
Widya Pratama Mohon Tunggu... -

Seorang guru kimia yang sederhana dan sedang mempelajari lebih lanjut tentang psikologi remaja dan semua aspek masalah dan solusinya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sembah Sujud Yudhistira

7 Maret 2014   03:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:09 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

        Perang hampir dimulai. Beratus ribu pasukan terbaik dipersiapkan dari masing-masing kubu, baik Pandawa maupun Kurawa. Jalan damai tak lagi dapat ditempuh karena keserakahan manusia. Saudara akan saling berhadapan dalam medan perang. Dahulu Bhisma dan Durna guru-guru Pandawa namun kini mereka semua harus berhadapan di medan yang sama. Kurusetra. 

Langit malam ini begitu cerah, Yudhistira dan semua adik Pandawa telah berada di barak-barak dekat Padang Kurusetra. Gemercik suara sungai Yamuna menambah keindahan malam belum lagi dihamburkannya bintang-bintang di angkasa luar. Sebuah sasmita yang membuat Yudhistira menjadi murung dan memikirkan apa jadinya esok hari. Perdebatan sengit masih terjadi di dalam hatinya. Menghentikan perang belum terlambat pikirnya, tapi menegakkan keadilan atas penderitaan mereka selama ini adalah tugas ksatria. Teringat di malam sebelumnya sebuah gugatan atas nama kekasih tercintanya Drupadi. Bagaimana ketika permainan dadu dirinya dipertaruhkan Yudhistira? Semua kenangan pahit itu ditumpahkannya dalam sebuah malam sunyi berdua dari hati ke hati dengan air mata. Pesan masyhur Dewi Drupadi pada kekasihnya “Kang Mas dilahirkan sebagai seorang ksatria, jalan takdir ksatria menegakan keadilan.”Pagi cerah dengan kicauan burung-burung kutilang, kepodang dan murai batu yang tumbuh liar di sekitar sungai Yamuna. Padang yang terhampar hijau dibasahi dengan embun yang menetes. Mungkin beberapa saat lagi berubah ditetesi darah-darah dari para saudara Bharata. Yudhistira dan adik-adik Pandawa tengah bersiap-siap. Drupadi dengan setia membawakan pakaian perang terbaik milik Yudhistira, mengenakan, dan mendaratkan sebuah kecupan paling mesra. “Berperanglah sebagai kesatria, aku selalu mencintaimu Kang Mas Yudhistira” sambil menghela nafas Yudhistira berkata “Terima kasih Adinda, semoga aku bisa kembali ke pelukanmu hari ini.” 
Menemui seluruh bala tentara Pandawa, Yudhistira yang telah menggunakan pakaian perang dan senjata terbaiknya memberikan semangat. “Kita dilahirkan dari rahim-rahim ibu, ditakdirkan menjadi seorang kesatria. Hari ini bukanlah hari yang kita minta melainkan hari yang ditakdirkan untuk kita lakukan agar kita tetap berada dalam kehidupan yang fana ini. Musuh datang bukan waktunya kita mundur. Kita hadapi sebagai bentuk dharma kita pada kehidupan yang tidak adil. Karena tugas kesatria adalah menegakkan keadilan. Kedamaian yang kita usulkan ditolak mentah-mentah oleh pihak musuh. Tanda bahwa jalan perang satu-satunya yang bisa kita tempuh untuk memperoleh keadilan. Bagi kalian yang raganya belum siap mati di Padang Kurusetra, saya perkenankan untuk kembali membuka baju perang dan kembali ke kerajaan masing-masing. Semoga dewa-dewi bersama dengan kita.” Dan seluruh kesatria gagah berani mengelu-elukan nama Yudhistira dan Pandawa. Bima dan Arjuna tokoh paling bersemangat dalam perang kali ini. Sri Krishna yang melakukan perundingan damai berkali-kali dengan pihak Kurawa dan selalu menemui kegagalan hari ini begitu bersemangat menyongsong perang. 
Pasukan Kurawa di bawah pimpinan Bhisma sebagai senapati perangnya. Bersiap menghadapi perang saudara besar tersebut. Bhisma menasehati semua prajurit dan kesatria sebelum berperang “Perang yang kita laksanakan hari ini sebagai bentuk bela tanah air. Kesejatian dari tumpah darah dan pengabdian terdalam pada bangsa dan negara. Salah benar hanya sebuah bentuk penilaian subjektif. Naluri tak mungkin bisa didustai soal siapa benar dan salah. Tetapi sekali lagi perang lebih kepada memenuhi hawa nafsu kita sebagai manusia. Apa yang sudah diusahakan dalam jalan damai tak menemukan kesamaan kata sehingga kita harus menempuh peperangan antar saudara ini. Sekali lagi semua perang ini adalah bentuk dharma kita sebagai sebuah warga negara. Siapkan jiwa dan raga kita menuju Kurusetra. Untuk kemenangan Kurawa”
Kedua kubu telah bersiap di tempatnya masing-masing. Padang Kurusetra yang berbentuk lembah di tengahnya sebagai arena peperangan. Di masing-masing sudut kini telah tampak Kurawa dan ratusan ribu pasukannya, sementara di sudut yang lain Pandawa dengan ratusan ribu pasukannya mereka tampang imbang. Tiba-tiba Yudhistira melepaskan seluruh pakaian perang yang digunakannya. Tersisa pakaian putih yang berada di bagian dalam. Seluruh pasukan mengenakan pakaian putih yang sama agar kelak ketika gugur di medan laga mereka semua bisa di bakar dengan pakaian putih yang melekat di tubuh mereka masing-masing. Yudhistira berjalan menuruni bukit, menuju ke arah pasukan Kurawa. Satu yang dituju, Kakek Bhisma sekaligus maha guru Durna. Penuh kepasrahan Yudhistira menghampiri mereka berdua untuk bersimpuh di bawah lutut mereka. “Kakek Bhisma, terima kasih atas semua kesempatan dan ilmu yang telah Kakek ajarkan pada kami. Semua nasihat dan kebijaksanaan yang kakek tularkan kepada kami Pandawa akan terus melekat dalam diri kami. Tiba hari ini dimana kami akan lancang, kepada para tetua menyongsongkan pedang, parang, panah dan seluruh pertumpahan darah. Maafkan kami sebelumnya karena kami harus memenuhi takdir sebagai seorang kesatria yang ditugaskan menegakkan keadilan. Semoga Tuhan Hyang Widi mengampuni seluruh kelancangan kami pada Kakek. Kami tidak pernah membenci kakek yang membela Kurawa sebagai bentuk jalan dharma kakek wujud cinta tanah air.” Yudhistira mencium kaki Bhisma yang sebentara lagi akan menjadi lawan dalam peperangan ini. Bhisma membalas dengan penuh desah menahan air mata haru “Cucuku, Cah Bagus Yudhistira, pemimpin para Pandawa yang hatinya teduh dan adil. Maafkan kakekmu yang dahulu bersumpah untuk tidak menjadi Raja bagi kerajaan ini. Ternyata kini, sumpah itu menimbulkan peperangan yang dampaknya lebih besar dan luas. Semoga Hyang Widi memaafkan kakek ketika nanti raga tak lagi melekat di tubuhku. Hari ini aku berada di tempat yang bersebrangan dengan mu sebagai wujud bhaktiku pada negara yang telah memberikan apa yang kubutuhkan. Aku terikat pada janji untuk setiap pada Raja Destarata hingga ke anak cucu mereka. Aku restui dirimu berperang melawan diriku hari ini Le.”

Berada tepat di bawah kaki seorang Maha Guru Durna, teringat bagaimana perkenalan mereka. Kala itu Bambang Ekalaya yang baru melakukan perjalanan dari Panchala karena tidak lagi diakui sebagai teman lama Raja Drupada dengan kegusarannya Durna pergi dan menuju ke Hastinapura. Ketika Yudhistira remaja bermain-main dengan Kurawa dan Pandawa menjatuhkan cincin ke dalam sumur. Tak sengaja Durna melintas dan menunjukkan kemampuannya mengambil cincin menggunakan rumput kering yang dengan mantra khusus berubah menjadi sebuah panah. Kemudian para Pandawa menceritakan kejadian tersebut pada kakek mereka Bhisma dan Durna diangkat menjadi guru bagi mereka. Durna mengajari perang dan dharma sebagai seorang kesatria. “Guru, tiada seorangpun yang paling berjasa diantara kami saat ini selain dirimu. Memanah, berkuda, menggunakan pedang dan semua ilmu perang ini tentu saja kami dapatkan dari dirimu. Semua dharma yang engkau ajarkan pada kami dalam ilmu perang pada akhirnya membuat kami harus berhadapan dengan dirimu. Bagaimana mungkin kami memerangi orang yang telah membuat pandai berperang. Untuk itu aku bersimpuh dihadapanmu memohon ijin dan meminta restumu. Agar kelak apa yang kami ajarkan sesuai dengan Dharma yang telah engkau ajarkan. Maafkan jika pada akhirnya ada darah yang tertumpah diantara kita. Tentu bukan sebagai bentuk durhaka kami kepadamu melainkan sebagai bentuk dharma atas keadilan dan juga bela tanah air.” Sekali lagi Yudhistira mencium kaki Maha Gurunya itu.

Dihari kesepuluh pertempuran Bhisma gugur oleh panah Srikandi yang merupakan Dewi Amba. Seorang putri yang pernah sakit hati karena sikap Bhisma. Sementara Durna gugur oleh panah Arjuna. Kurusetra selama 17 hari bermandikan darah dari saudara-saudara trah Bharata. Perang saudara yang sebetulnya ingin dihindarkan oleh Yudhistira tetapi telah dituliskan dalam takdir harus terjadi.
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun